Siapa yang tak mengenal tanaman jambu mete. Buahnya sering disebut dengan nama jambu monyet. Biji berada di luar buahnya dan biasa diolah menjadi kacang-kacangan (kacang mete).
Harga kacang mete di pasar lumayan tinggi. Bahkan merupakan bahan makanan termahal kedua setelah vanili. Sayangnya, usaha bisnis di bagian hilir (pengolahan mete) belum banyak tersentuh.
Saat ini luas areal perkebunan mete di Indonesia sekitar 585.300 ha. Sebagian besar merupakan perkebunan rakyat. Total produksinya diperkirakan sebanyak 117.400 ton. “Minimnya produksi mete karena banyak tanaman yang sudah tua, rata-rata lebih dari 20 tahun,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian), M. Syakir saat Forum Komunikasi Jambu Mete Nasional II Meningkatkan Daya Saing dan Nilai Tambah Secara Berkelanjutan di Bogor, beberapa waktu lalu.
Kondisi tanaman yang sudah uzur tersebut membuat produktivitas tanaman hanya 500 kg/ha. Padahal Indonesia memiliki varietas unggul tanaman mete yang produksinya mencapai 2,2 ton/ha. “Rencana kita ke depan adalah melakukan peremajaan, perluasan areal lahan, dan membenahi proses hulu-hilirnya,” kata Syakir
Jambu Mete sendiri mulai dikembangkan di Indonesia tahun 1975, yakni sebagai tanaman konservasi untuk perbaikan lahan kritis. Makanya saat ini Jambu Mete dikembangkan di lahan-lahan marginal iklim kering. “Kita ini banyak lahan sub optimal, jadi rencananya perkebunan jambu mete akan dikembangkan lebih jauh lagi di lahan sub optimal,” tambah Syakir.
Perkebunan jambu mete sendiri telah berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat NTT, NTB, Sulawesi Tenggara, dan daerah-daerah lainnya yang beriklim kering. Bberdasarkan Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No.46/2015 bahwa Penetapan Kawasan Perkebunan Nasional untuk Komoditas Jambu Mete di NTB (Dompu dan Bima) dan NTT (Alor).
Sebatas Hulu
Syakir mengtakan, pengembangan perkebunan jambu mete selama ini masih sebatas di bagian hulu atau sebatas budidaya dan kacang mete-nya. Padahal limbahnya bisa diolah karena setelah diteliti ternyata limbah mete bernilai tinggi dan bisa menambah pendapatan petani. Karena itu Litbang Pertanian mendorong inovasi teknologi dari proses hulu hingga hilirnya di komoditas jambu mete.
“Setelah melihat dari aspek sosial ekonominya, ternyata seluruh komponen tanaman jambu mete termasuk limbahnya dapat dimanfaatkan dan menjadikan tambahan pemasukan bagi petani,” tuturnya.
Saat ini menurut Syakir, tanaman mete bukan hanya bijinya yang bisa dimanfaatkan. Bahkan daun, batang, dan daging buahnya bisa bernilai ekonomis tinggi. Daunnya dapat dimanfaatkan sebagai peternakan ulat sutera, batangnya bisa menjadi arang, daging buah untuk sari buah atau selai. Kulit bijinya bisa diolah menjadi minyak rem.
“Untuk pengolahan ini (jambu mete,red), Litbang punya semua teknologinya. Jadi sekarang yang terpenting adalah adanya komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk mengolah tanaman jambu mete dari hulu hingga hilirnya,” kata Syakir.
Plt Kepala Balai Tanaman Obat dan Rempah (Balitro), Agus Wahyudi mengatakan, ke depan pengembangan tanaman jambu mete bukan sebatas pengolahan bijinya menjadi kacang mete, tapi yang lainnya juga harus menghasilkan nilai tambah. Selama ini hampir 90% potensi nilai tambah tanaman jambu mete hilang begitu saja.
“Ekspor mete ini 80% hanya dalam bentuk gelondong saja. Ini harus dikembangkan juga yang lainnya karena bisa menciptakan nilai tambah,” kata Agus yang saat ini menjabat juga sebagai Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Direktorat Jenderal Perkebunan.
Karena itu, pengembangan jambu mete akan sangat diperhatikan karena dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah sub optimal (iklim kering) dan menjadi pemasukan devisa negara (ekspor). Karena itu perlu dibentuk kelompok masyarakat jambu mete yang terdiri dari pemegang kebijakan, pengusaha, peneliti dan petani.
“Pemanfaatan jambu mete bukan hanya sebatas bijinya saja (kacang mete). Pemanfaatan limbahnya pun harus segera disosialisasikan karena akan menciptakan pola perkebunan jambu mete yang berkelanjutan,” tuturnya. Cla
Editor : Ahmad Soim