Sabtu, 26 April 2025


Perluasan Areal Tebu Tersendat

19 Peb 2014, 12:04 WIBEditor : Clara Agustin

Kondisi iklim basah yang terjadi selama 2013 bakal menghambat perluasan areal tanaman tebu. Apalagi tahun lalu, harga lelang gula cenderung rendah, sehingga membuat petani tidak terangsang memperluas lahan budidaya tebu.

Jika melihat perkembangan produksi gula di dalam negeri, maka tidak akan lepas dari tiga faktor yakni luas lahan tebu giling, produktivitas lahan dan rendemen. Dalam enam tahun terakhir, luas areal perkebunan tebu meningkat menjadi 470.198 ha. Peningkatan luas areal didominasi Pulau Jawa yang semula hanya 250.842 ha menjadi 304.333 ha pada tahun 2013. Sisanya di luar Pulau Jawa.

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Tito Pranolo mengatakan, faktor utama penentu luas areal perkebunan tebu adalah harga gula dan iklim. Pada tahun 2009 hingga awal 2010, peningkatan luas areal perkebunan gula dipicu harga gula yang merangkak naik dari Rp 5.300 per kg menjadi Rp 8 ribu per kg.

Kemudian pada periode 2010-2011, terjadi penurunan areal tebu akibat iklim basah, sehingga terjadi keterlambatan penebangan. Namun pada tahun 2012, luas areal kembali merangkak naik. Pendorongnya adalah harga lelang gula yang mencapai Rp 10 ribu per kg, bahkan pernah menyentuh hingga angka Rp 11.300 per kg.

Bagaimana dengan tahun Kuda Kayu ini? Tito menjelaskan, jika dilihat dari dua faktor ini (harga dan iklim), maka pada tahun 2014 diperkirakan sulit untuk terjadi perluasan areal tebu. Penyebabnya, pada tahun 2013, harga lelang gula turun di bawah Rp 9 ribu per kg.

Penurunan harga tentu saja membuat petani malas menanam tebu. Apalagi sepanjang tahun 2013 iklim relatif basah, sehingga membuat petani tidak dapat melakukan perluasan areal. “Diperkirakan tahun 2014, tepatnya di Jawa luas areal perkebunan tebu akan berkurang sekitar 18 ribu ha. Diperkirakan total luasnya menjadi 447 ribu ha, sedikit lebih rendah dari tahun 2013,” kata Tito.

Bukan hanya penurunan luas areal tanaman tebu yang bakal menghambat upaya pemerintah meningkatkan produksi gula nasional, tapi juga produktivitas tanaman tebu. Seperti diketahui, produktivitas tebu, sangat ditentukan iklim, selain teknik budidaya.

Sepanjang sejarah produksi gula di Indonesia, produktivitas tebu dari tahun ke tahun berfluktuasi dan cenderung stagnan. Pada iklim basah (2010-2012), produktivitas tebu mencapai 81,9 ton per ha. Pada tahun 2013 produktivitas tanaman hanya mencapai 75,6 ton per ha, karena iklimnya tidak sebasah tahun 2010. “Dengan asumsi iklim normal, tahun 2014 produktivitas tanaman tebu menurun sekitar 6,3% atau menjadi 70,8 ton per ha,” kata Tito.

Untuk rendemen, menurut Tito, sangat tergantung iklim dan teknik budidaya. Pada iklim kering, rendemen dapat mencapai hingga 8,13%. Saat iklim basah biasanya menurun hingga 6%. Hal ini terkait banyaknya kandungan air dalam tebu dibandingkan gula.

Jika perkiraan BMKG tahun 2014 iklimnya normal, maka Tito memprediksi rendemen tebu meningkat sekitar 0,90 point dibandingkan tahun sebelumnya. Jadi tahun 2014, diperkirakan rendemennya sekitar 8,08%.

Harga yang rendah pada tahun 2013, menurut Tito memang akan mempengaruhi luas areal perkebunan tebu pada tahun 2014. Tapi karena perkiraan iklim normal membuat rendemen meningkat. “Dengan kondisi luas pertanaman tebu, produktivitas dan rendemen tersebut saya memperkirakan produksi gula pada 2014 berkisar 2,5-2,6 juta ton,” katanya. Cla

Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066

Editor : Julianto

BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018