TABLOIDSINARTANI.COM, Bangka---Di kalangan petani lada di Bangka, nama H. Sukri sudah cukup tenar. Bahkan ia menjadi referensi bagi petani yang ingin belajar budidaya lada dengan baik.
Selain memproduksi biji lada, H. Sukri juga memproduksi benih/bibit lada. Ada lima varietas benih/bibit bersertifikat yang diproduksinya yaitu varietas Petaling 1, Lampung Daun Kecil (LDK), Chunuk, Petaling 2, dan varietas Nyelungkup (varietas lada terbaru yang dilepas September 2018).
Bahkan kualitas biji lada putih yang diproduksinya sudah cukup baik. Hasil pemeriksaan di Laboratorium di Penang, Malaysia, lada hasil olahannya terbilang baik, karena bakteri salmonella dan e-coli tidak terdeteksi (absent).
Untuk mendapatkan kualitas yang baik, Sukri sangat memperhatikan penjemuran biji ladanya. Saat penjemuran tidak terganggu hewan atau unggas yang keberadaannya bisa berpengaruh terhadap kualitas produksi biji lada. “Untuk perendaman saya gunakan air yang dari hulunya memang belum tercemar,” ujar Sukri yang lokasi perendaman biji ladanya paling hulu
Bagi Sukri, pengelolaan kebun menjadi salah satu faktor penting dalam budidaya lada. Dalam mengelola kebun lada, komponen biaya produksi tertinggi adalah biaya tajar (tiang tempat merambatkan pohon), pemupukan dan panen,.
Jika menggunakan tajar mati (tiang kayu), biaya tajar di awal penanaman bisa mencapai sekitar 60?ri total biaya awal penanaman. Sedangkan biaya panen bila rata-rata produksinya 2 kg biji lada/pohon, maka proporsi biaya panennya saja sudah 70?ri total biaya.
Baca juga :
Suwinde, Beternak sambil Mengajak Wisata Edukasi Kambing Etawa
Gula Sawit, Peluang Manis Saat Peremajaan Tanaman
Tajar Hidup
Dalam upaya menekan biaya produksi, Sukri menggunakan tajar hidup yang berupa pohon randu. Hitungan Sukri, harga tajar mati kualitas bagus (kayu yang kuat dan tahan lama, tinggi sekitar 3 meter) bisa mencapai Rp 50 ribu/batang, untuk satu pohon lada. Bila populasi 1 ha sekitar 2.000 pohon lada, maka investasi untuk tajar sebesar Rp 100 juta.
“Dengan menggunakan tajar hidup bisa ditanam berbarengan saat menanam bibit lada. Bisa juga menanam pohon tajar hidupnya terlebih dulu sebelum menanam bibit lada,” tuturnya.
Dalam budidaya lada, Sukri menggunakan sekitar 80% tajar hidup batang pohon kapuk randu. Batang pohon kapuk randu awalnya dibeli dari Jawa, lalu disemai hingga cukup besar. Saat ini tajar hidup yang dibutuhkan sudah dapat diambil dari bagian pohon kapuk randu yang ada.
Di Bangka, praktek budidaya lada dengan menggunakan tajar hidup berupa batang pohon kapuk randu merupakan cara yang dianggap cukup efisien dan baik oleh petani lada. Meski hasilnya masih belum dapat mencapai tingkat potensi 2,8 kg/pohon seperti varietas unggul Petaling 1.
Di Vietnam, tajar hidup pohon kapuk randu juga dimanfaatkan petani menggantikan tajar balok kayu (dalam cara tradisional) yang mulai ditinggalkan petani karena harganya relatif mahal. Di Vietnam, terutama di daerah yang lebih sejuk, ada yang menggunakan tajar berupa tiang beton.
Untuk menekan biaya usaha tani, Sukri menanam lada varietas Nyelungkup juga lebih lebih efisiensi, karena varietas ini lebih mudah diikat di tiang tajar. Dengan demikian, proses mengikat pohon ke tajar dari mulai tanam sampai seterusnya tidak berkali-kali.
“Varietas ini termasuk pohon yang “nurut“. Kalau diikat di tiang tajar, tidak seperti varietas lainnya arah tumbuh sulur-sulurnya sudah tidak beraturan jika tidak kita perhatikan,” tuturnya.
Untuk meningkatkan hasil dan menekan biaya produksi biji lada, Sukri juga menggunakan pupuk organik hasil olahan sendiri. Penggunaan pupuk urea dengan persentase yang lebih kecil hanya sebagai pelengkap. Pemupukan dilakukan setelah panen, satu pohon bisa menghabiskan pupuk sekitar 2,5 kg.
Sukri saat ini memiliki lahan sekitar 40 hektar (ha) yang terletak di Simpang Gedong, Jalan Raya Desa Puput, Kecamatan Simpang Katis, Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung (sekitar 23 km dari pusat Kota Pangkal Pinang). Di lahan itu ada sekitar 80 ribu pohon lada. Ada yang ingin belajar budidaya lada, datang saja ke H. Sukri.