Pemerintah telah mengetok palu swasembada gula pada tahun 2014. Namun untuk mencapai target tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Salah satu kendalanya adalah tersendatnya pembangunan pabrik gula (PG) baru.
Seperti diketahui, pemerintah telah memasang target swasembada gula tahun 2014 dengan produksi sebesar 5,7 juta ton. Jumlah tersebut sudah termasuk konsumsi langsung dan konsumsi industri makanan-minuman.
Untuk mencapai target tersebut diperlukan tambahan PG baru sebanyak 20 unit dengan kapasitas 10 ribu TCD (ton cane perday), serta dukungan lahan 350 ribu sampai 500 ribu hektar (ha). Untuk membangunnya hingga PG tersebut beroperasi diperlukan waktu lima tahun.
Penyelesaiannya bukanlah perkara mudah. Sejak swasembada dikumandangkan sampai kini, hanya dua PG yang terealisasi yaitu PG PSMI di Lampung dan PG Komering di Sumsel. Dua PG tersebut sudah beroperasi karena perusahaan sudah memiliki lahan sebelum dicanangkan program swasembada. Bahkan telah berkontribusi dalam produksi gula sebanyak 156 ribu ton gula pada tahun 2013.
Pakar perkebunan, Soedjai Kartasasmita menilai, industri gula merupakan salah satu industri strategis yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan di seluruh dunia, komoditi gula menjadi perhatian utama pemerintah. Di Amerika Serikat, pemerintahnya sangat melindungi komoditi tersebut dengan adanya subsidi untuk petani.
“Kalau kita bicara soal gula, harus mengkaitkannya dengan keperluan akan pangan, karena gula itu merupakan satu unsur dari ketahanan pangan,” kata Soedjai. Apalagi belakangan ini gula juga ada kaitannya dengan kebutuhan energi. Di Brazil, sejak awal tahun 1970-an, tebu telah menjadi bahan baku etanol (bahan bakar nabati). Hingga kini masih dimanfaatkan untuk transportasi di negara sepak bola tersebut.
“Jadi ke depan, industri gula tidak hanya menghasilkan gula tapi juga bicara soal profitabilitas. Karena itu di negara berpenghasil gula seperti Brazil, industri gula tidak terbatas menghasilkan gula. Tapi juga ada produk lainnya yang dihasilkan seperti etanol, ragi dan listrik,” tuturnya.
Karena arah industri gula sudah menuju profitabilitas, Soedjai mengatakan, salah satu industri gula Brazil selalu mencermati perkembangan harga di bursa komoditas di New York. Saat harga gula melonjak, industri gula menggenjot produksi gula. Sebaliknya, jika harga gula turun, produksi etanol yang ditingkatkan. “Ini dilakukan untuk menjaga profitabilitas tadi,” katanya.
Sedangkan untuk pangan, industri gula menciptakan ragi yang diberi macam macam campuran berbagai rasanya. Misalnya, ada rasa vanilla, jeruk dan berbagai aroma dedaunan lainnya. Selain itu, menurut Soedjai, industri gula juga bisa menjadi alternatif pemecahan masalah listrik. Ampas gula tersebut dapat diolah menjadi sumber tenaga listrik.
“Ini sangat beda dengan negara kita, fokusnya hanya produktivitas saja. Jadi kita baru sebatas pangan saja, itupun masih tidak terpenuhi,” ujarnya. Padahal dengan mengembangkan produk lain, profitabilitas industri gula terangkat dan bisa dipertahankan. “Jika dalam pengembangan pabrik gula hanya fokus menghasilkan gula untuk pangan, maka tingkat profitabilitasnya berkurang,” tambahnya.
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto