TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Hanya di Indonesia cabe bisa mengguncang ekonomi negara. Ada kalanya harga cabe membumbung tinggi melebihi harga daging sapi, tapi petani tak punya barang. Aada saatnya petani punya barang karena sedang panen tapi harganya merosot sampai pada titik rugi.
Yang hebatnya, harga cabe olahan, apakah sambal atau cabe kering selalu stabil dan usahanya berkembang menjadi semakin besar dan pemasarannya semakin luas. Pelakunya juga semakin banyak. Jadi apa yang salah? Koran memberitakan dua titik ekstrim ini, tapi tidak bisa mengungkap keprihatinan petani. Kalau terus terjadi berulang-ulang, artinya ada yang harus dilakukan petani -bukan orang lain- untuk mellindungi dirinya dari permainan gejolak harga.
Fluktuasi harga cabai dalam sebulan terakhir adalah kejadian yang selalu berulang, tapi tetap saja jadi santapan yang bikin sedih. Harga turun petani pasti sedih, harga naik juga belum tentu berarti petani dapat durian runtuh karena biasanya cabainya sudah dijual jauh-jauh hari dengan cara tebasan. Kalau kali ini kenaikan harga cabai lalu ada berita di media berjudul "Harga Cabai Rawit Merah Bikin Sedih" pastilah itu mewakili perasaan konsumen.
Tidak hanya cabe, komoditas yang harganya sering meloncat-loncat hebat adalah juga bawang, telur, daging ayam, daging sapi, jagung dan kedele. Pokoknya, hampir semua komoditas, termasuk komoditas perkebunan seperti karet dan sawit. Ah, terlalu banyak. Tentu kita masih ingat tanaman hias Anthurium, Aglaonaema, atau Talas hias yang harganya sempat sangat tinggi lalu terhempas begitu saja. Tidak masuk akal. Jangan sampai pula kejadian ini menimpa komoditas andalan semacam porang dan sarang burung walet yang sedang digadang-gadang.
Gejolak harga tidak banyak terdengar di negara maju yang punya banyak fasilitas pemasaran, pengolahan dan kelembagaan pasarnya sudah berkembang. Harga barang-barangnya sangat konstan terjaga. Mana ada harga telur, daging dan bawang bermain silat di Eropa, Jepang atau Amerika sana?
Pergudangan, penyimpanan, manajemen stok, pengolahan, terutama kelembagaan dan pasarnya tertata dengan aturan yang jelas. Koperasi petani, koperasi konsumen, contract farming, standar kualitas, beserta seluruh perangkat dan aturannya sudah jelas. Dan semua pihak mematuhi karena reward dan punishment-nya jelas.
Sistem kontrak petani kecil dengan industri pengolahan nenas di Thailand telah berlangsung lama dan berlanjut. Sama halnya contract farming petani pisang dengan industri pemasaran di India, Ekuador, Brasil,Filipina dan juga Indonesia menerapkan kerjasama yang bisa menjaga stabilitas harga dan membesarkan industri.
Teorinya banyak dibahas dan jadi skripsi atau tesis, tapi pengalaman di lapang di negeri ini tidak banyak berubah. Karakteristik produk pertanian yang musiman, lemahnya kelembagaan dan terbatasnya fasilitas pemasaran, kerap terganggunya keseimbangan permintaan-penawaran, ekspektasi, pengaruh luar, dan ketidak-akuratan data menyebabkan fluktuasi harga mudah terpicu.
Secara teoritis, keeratan bisnis hulu-budidaya-hilir dalam kerjasama yang saling membesarkan dan berkeadilan menjadi prasyarat untuk keberlangsungan usaha bersama. Ini teori. Karena pada kenyataannya pikiran dan tujuan jangka pendek sering mengemuka, sehingga masing-masing mencederai kesepakatan untuk bekerjasama. Jadi solusinya, perbaiki saja sederet masalah dan tiru faktor yang menjadi kisah sukses di negara yang disebut di atas.