Peternakan harus perhatikan animal welfare
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta --- Animal Welfare atau dikenal di Indonesia sebagai Kesejahteraan Hewan (Keswan) menjadi isu yang sangat penting. Terutama dalam berbisnis peternakan dari skala kecil hingga modern sekalipun.
Boleh percaya, boleh tidak. Ternak atau tanaman yang disayangi sepenuh hati akan memberikan balasan terbaik kepada pemeliharanya. Itu yang jadi pegangan para pelaku agribisnis sukses. Sebut saja salah satunya Bob Sadino, yang konon suka mengajak ngobrol tanaman tomatnya. Mungkin karena tanaman atau hewan tersebut dipelihara dengan sebaik-baiknya maka kualitasnya istimewa. Animal Welfare (Kesejahteraan Hewan) kemudian menjadi issue yang berkembang walaupun seringkali dianggap alat untuk saling memojokkan dalam persaingan bisnis.
Good animal welfare termasuk di dalamnya menjaga hewan dari serangan penyakit, penanganan kehidupan hewan yang baik, menyediakan kandang yang memadai, manajemen pemeliharaan yang baik, pemberian nutrisi, dan pemotongan yang tidak menyiksa.
Proses produksi ayam potong atau telur yang menyerupai pabrikasi dengan cara otomasi, teknologi moderen dan proses pemotongannya, banyak dianggap sebagai proses yang mengenyampingkan animal welfare. Contohnya menempatkan ayam di kotak-kotak (cell) sempit sehingga mereka tidak bisa bebas bergerak. Mereka divaksinasi, diberi hormon, hidup hanya untuik makan, agar menjadi cepat besar, badannya menjadi gembur tidak berotot, lalu dipotong dengan mesin, diproses seperti menangani barang tak bernyawa.
Lihatlah juga sapi potong yang badannya dibuat menjadi besar sehingga tidak bisa bergerak. Atau sapi perah yang sudah seperti tanki susu dengan puting susu yang berdarah karena setiap hari disedot dengan mesin sehingga mereka kesakitan. DOC jantan yang dihancurkan dalam mesin giling untuk menjadi pupuk atau pakan karena tidak akan menghasilkan telur. Videonya menyebar di media populer di dunia maya.
Kampanye animal welfare cukup berhasil. Di negara maju, bisnis baru (dibaca: kembali ke pola bisnis lama) berkembang menangguk keuntungan. Istilah "Free Range Chicken" merebak dan mendapat respon kuat dari konsumen. Visualisasi proses pemeliharaan ternak moderen yang tidak lagi memperhatikan kesejahteraan ternak memenuhi berbagai media.
Harga produk berlabel Animal Welfare dipatok lebih mahal tetapi konsumennya meningkat. Lantas bisnis pun merespon dengan versi baru. Seperti ayam kampung, telur hasil angonan, belibis tangkapan dari alam atau hasil berburu, yang harganya lebih mahal tetapi mempunyai langganan konsumen fanatik.
Back to nature tetap saja bernuansa bisnis. Ayam kampung yang dipelihara dengan free range lebih tahan terhadap penyakit, dan bahkan rasanya menurut konsumen tertentu lebih enak. Pola bisnis ini juga terkait dengan keindahan dan pariwisata, bertolak belakang dengan proses produksi yang dipaksakan sehingga mengakibatkan penderitaan ternak yang menghasilkan gangguan perasaan dan rasa berdosa kepada konsumennya.
Informasi tentang kandungan gizi dan manfaat memang tidak cukup. Diperlukan juga informasi tentang bagaimana ternak dipelihara dan keseluruhan proses produksi. Kita memerlukan kreasi inovatif agar produksi bisa meningkat mampu memenuhi kebutuhan masayarakat dunia tanpa mencedarai kehidupan ternak yang memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.