Petani padi Indonesia
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta --- Ketika sekian banyak tokoh nasional dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, kita teringat petani pemelihara alam di desa-desa yang pantas mendapat gelar Pahlawan Kemanusiaan. Keberadaan dan peran mereka sering terlupakan.
Hari Pahlawan 10 November mengingatkan sekitar 6000 orang tewas di Surabaya ketika berperang mempertahankan kemerdekaan melawan tentara Inggris yang datang dengan persenjataan lengkap. Yang berjuang bukan hanya tentara, tetapi sebagian besar adalah rakyat biasa, termasuk petani. Dunia menyaksikan perjuangan bangsa kita yang tak kenal takut melawan penjajah. Merdeka atau Mati! Dunia mengakui, bahkan Inggris akhirnya turut mendukung kemerdekaan Indonesia.
Kita juga jangan sampai lupa para petani yang tidak hanya ikut berperang, tetapi siaga di barisan belakang menyediakan bahan pangan. Tidak berhenti pada jaman perjuangan kemerdekaan tetapi terus berlanjut dalam mengisi kemerdekaan sampai sekarang. Tidak hanya untuk memberi makan pejuang yang berperang tetapi untuk seluruh penduduk di negeri ini. Petani adalah benteng perjuangan di pedesaan, dan benteng ekonomi yang handal dalam menangkal dampak carut marut resesi ekonomi dunia.
Lihatlah betapa hebatnya mereka menopang ekonomi nasional. Petani tetap bertahan dan produksi tetap meningkat dalam gejolak harga input, tersendatnya pasokan pupuk dan merosotnya harga produk setiap panen raya tiba. Kita masih berhutang kepada mereka karena pengorbanannya belum membuat mereka hidup sejahtera. Yang berjuang menghadapi tekanan pasar, hama penyakit, perubahan iklim dan berbagai tekanan persaingan. Sebagian besar petani masih berada pada kelompok ekonomi paling bawah itu di negeri ini. Tetapi tetap berperan besar dalam perekonomian nasional.
Dengarlah kata hati para Pahlawan Kemanusiaan itu dalam puisi di bawah ini.
MENANTI PAGI
Perjalanan panen padi bulan Februari
Semalaman hujan Pebruari/Kang Sarta tak khusuk shalatnya kali ini
Ada basah di sawah/Ada padi yang rebah/Ada jiwa yang resah
Padinya matang montok berurai/Hatinya bimbang luluh berderai
Licin di turunan jalan berbatu/Satu satunya tempat dia lewat itu
Panen esok hari lama dinanti/Padinya kuning padat berisi
Empat bulan ototnya letih kerja tak henti/Dia tak peduli lagi
Besok sepenuh odong-odong/Padinya dijual pada pemborong
Tak banyak bersisa/Wong tanahnya dua kotak saja
Dan seperti biasa/Harganya pun tak seberapa
Bulan ini beras baru dan wangi/Hasil sendiri
Menyambut makan seanak isteri/Disambut mata berseri
Bulan depan dia bergumam/Beli beras impor dari Vietnam?
Bulan depan lagi mungkin ngutang sampai panen datang
Dan begitu cerita terus berulang
Sarta lalu bertanya/Apakah aku petani?
Kalau tanahku cuma segini/Harga tinggi pun aku masih seperti ini
Akukah petani?
(Cuplikan dari Puisi Perjalanan Nurani, Memed Gunawan, 2012)