Selasa, 17 September 2024


Sertifikasi ISPO Kebun Rakyat Mengapa Tersendat?

04 Jun 2024, 13:55 WIBEditor : Herman

Sertifikasi ISPO untuk Pekebun Rakyat | Sumber Foto:Dok. Sinta

TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta --- Pertanyaan peserta Webinar ISPO adalah ungkapan jujur pekebun yang lelah mengurus sertifikasi ISPO yang banyak tersendat. Sejak tahun 2019 sampai saat ini sertifikasi ISPO kebun sawit rakyat baru sekitar 0,31 persen.  Padahal semua pekebun diwajibkan pada tahun 2025 atau 5 tahun setelah Perpres terbit sudah memperoleh sertifikat ISPO. Nah. Di mana letak permasalahannya?

Walaupun prinsip, indikator dan kriteria untuk kebun rakyat ini jauh lebih sederhana dibandingkan untuk perusahaan, dan bahkan didukung bantuan dana dari BPDPKS, tetapi perkebunan sawit rakyat sulit memenuhi persyaratannya.

Perkebunan rakyat yang sudah berumur puluhan tahun, boleh jadi pemilikannya sudah berubah dan tidak mempunyai dokumen apa pun sebagai bukti syahnya lahan yang mereka gunakan. Bukti legalitas lahan, lokasi yang terindikasi masuk kawasan hutan, hak atas tanah dan surat tanda daftar budidaya tanaman (STDB) menjadi kendala luar biasa. Kemacetan di satu titik saja membuat seluruh proses terhenti.  

Kelembagaan pekebun masih lemah, tidak hanya antusiasme untuk membangun kelembagaan pekebun rendah, juga akibat kurangnya pembinaan dan pendampingan serta lemahnya kemitraan dengan perusahaan. Jadi, satu ironi melimpahnya dana bantuan dari BPDPKS untuk sertifikasi ISPO tak mudah dimanfaatkan. Posisi BPDPKS adalah memberikan bantuan pembiayaan setelah ada rekomendasi teknis dari Ditjen Perkebunan.

Apa yang harus dibenahi?

Banyak upaya dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan peraturan untuk mempermudah proses sertifikasi, tetapi persyaratan di atas menjadi kendala besar. Proses panjang itu akan berhenti ketika satu persyaratan saja tidak terpenuhi. Selama persyaratan sertifikasi, prinsip, indikator, kriteria dan bukti legalitas dan STDB menjadi syarat utama, dan tidak ada alternatif lain, proses sertifikat ISPO tidak selancar yang diharapkan.

Selain itu, banyaknya pihak terlibat di daerah dan di pusat  yaitu Dinas, Kabupaten, Provinsi, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan/Lingkungan HIdup dan BPDPKS serta lembaga terkait lainnya membuat proses jadi panjang. Rigiditas aturan selalu terkait dengan kehati-hatian pihak yang menanganinya agar tidak bermasalah. Semua ini menjadi titik kritis yang harus dilalui pekebun.

Insentif juga dipertanyakan. Apakah ada keuntungan yang diperoleh pekebun  dengan memperoleh sertifikat ISPO, misalnya perbedaan harga. Seperti halnya yang diperoleh petani sayuran organik atau hidroponik yang kualitasnya berbeda dengan sayuran yang ditanam konvensional.

Sebagai pembanding, di Malaysia sekitar 55 persen atau 3,19 juta hektare kebun sawit sudah menerima sertifikat MSPO pada 30 September 2019 sedangkan 30,66 persen kebun rakyat dari 979.892 telah menerima sertifikat MSPO pada tahun 2020. Prosesnya memang lebih sederhana dibanding di Indonesia, yaitu dengan memberi kewenangan kepada The Malaysian Palm Oil Board (MPOB) menangani skema MSPO di Malaysia dengan target sertifikasi seluruh perkebunan di negeri itu selesai pada tahun 2020.

MPOB juga berperan agar sertifikasi MSPO dapat diakui oleh negara-negara pengimpor sebagai upaya meningkatkan usaha pertanian berkelanjutan. Wallahualam

Reporter : Memed Gunawan
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018