TABLOIDSINARTANI.COM -- Agroindustri kini menjadi sorotan utama dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional. Dengan inovasi dan dukungan teknologi, sektor ini berpotensi menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
Kegundahan mengapa selama ini kita hanya jadi pemasok bahan mentah tanpa diolah sudah sering didengungkan termasuk oleh Presiden Joko Widodo. Padahal margin terbesar diperoleh dari pengolahan dan pemasaran. Kajian ilmiah juga menunjukkan bahwa dengan pengolahan akan diperoleh tidak hanya nilai tambah tetapi juga menciptakan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan.
Dalam arti luas, pengolahan juga mencakup peningkatan kualitas, penciptaan produk turunan baru, peningkatan tampilan dan rasa serta pengemasan yang bertujuan untuk memperoleh nilai tambah. Kendala apa yang menjadi penyebabnya? Teknologi? Jaringan pasar? Kerjasama pelaku bisnis di sektor hulu dan hilir?
Pada Tahun 2022, total ekspor sektor industri hasil perkebunan mencapai US$ 36,55 milyar atau sekitar 568,9 triliun rupiah. Komoditas perkebunan mainstream Indonesia adalah kelapa, kelapa sawit, kakao, kopi, teh dan minyak atsiri. Komoditas kelapa sawit dan turunannya merupakan produk ekspor utama Indonesia (menyumbang hampir 81,4?ri total ekspor industri hasil perkebunan). Hal ini karena Indonesia merupakan negara produsen terbesar kelapa sawit.
Angka ini mengingatkan kita akan dua hal. Pertama, agroindustri berbasis komoditas produk komoditas perkebunan lain belum dikembangkan optimal, dan kedua komoditas non perkebunan seperti buah-buahan dan sayuran masih sedikit mendapat sentuhan pengolahan. Padahal trend permintaan terhadap produk makanan olahan berkualitas terus meningkat. Pengolahan komoditas tanaman pangan dan hortikultura bahkan menjadi andalan di negara-negara lain dan telah menghasilkan nilai tambah tinggi.
Banyak yang harus diantisipasi dalam pengembangan agroindustri. Teknologi dan jaringan pasar boleh jadi bukan yang paling sulit diatasi pada era sekarang ini. Tetapi bagaimana harga dan insentif kepada petani produsen, industri dan konsumen? Aspek ini memerlukan perhatian yang serius. Tengkulak yang berkeliaran membeli langsung dari petani dengan harga murah sangat merugikan petani. Kurangnya presiasi terhadap kualitas membuat kualitas produk di tingkat petani tidak terjaga. Kasus vanili dan komoditas lain yang dipanen muda terjadi di lapangan.
Satu ironi bahwa petani kesulitan menjual hasil sementara industri pengolahan kesulitan memperoleh bahan baku berkualitas baik. Kasus tersebut dialami pada hampir semua komoditas. Ada sekat yang membuat aliran komoditas pada rantai agrobisnis itu tersendat. Contract farming yang berusaha dibangun tidak pernah berhasil.
Cengkeh, pala, lada, kayu manis, dan banyak rempah lain boleh dibilang kitalah rajanya. Tetapi pengolahan berkualitas baik dilakukan negara lain.
Industri pengolahan berbasis sawit hampir sepenuhnya dikuasai pemodal besar. Kita kurang mampu membangun kerjasama usaha besar dengan usaha kecil, baru sebatas pada petani produsen bahan baku dengan industri pengolahan besar dalam bentuk inti-plasma yang fenomenal itu. Ini pun terbatas pada komoditas kelapa sawit.
Untuk menjadikan agroindustri sebagai pengungkit ekonomi nasional diperlukan sinergi antar lembaga pembina, khususnya di bidang pertanian, perdagangan, industri dan perbankan dalam membangun kebijakan, infrastruktur serta melakukan bimbingan dan pelatihan.