Jumat, 13 Juni 2025


Rumah Tangga Petani Turun

19 Agu 2014, 14:08 WIBEditor : Nuraini Ekasari sinaga

Ada sinyal khusus dari Badan Pusat Statistik (BPS) saat merilis hasil Sensus Pertanian (ST) 2013, beberapa waktu lalu. Bukan hanya jumlah rumah tangga petani yang menurun, tapi dalam sepuluh tahun terakhir ternyata kesejahteraan petani tak banyak bergerak naik alias stagnan.

BPS dalam ST 2013 mencatat, jumlah rumah tangga usaha pertanian turun 16% menjadi 26,14 juta rumah tangga (RT) dibandingkan ST 2003 yang mencapai 31,23 juta RT.  “Dari jumlah tersebut, RT petani yang melakoni subsektor tanaman pangan mendominasi yakni sebesar 17,73 juta rumah tangga,” kata Deputi Bidang Statistik Produksi, Badan Pusat Statistik (BPS), Adi Lumaksono di Jakarta.

Sementara lanjut dia, subsektor hortikultura berdasarkan hasil ST 2013 ada sebanyak 10,60 juta RT. Subsektor perkebunan tercatat ada 12,77 juta RT, subsektor peternakan 12,97 juta RT, subsektor perikanan 1,97 juta RT, subsektor kehutanan 6,78 juta RT. Sedangkan yang bergerak di bidang usaha jasa pertanian sekitar 1,08 juta RT.

Namun demikian BPS mencatat, secara keseluruhan jumlah petani masih tergolong tinggi yakni sebanyak 38,07 juta orang atau sekitar seperenam dari keseluruhan penduduk Indonesia 252,16 juta orang. Adapun petani terbanyak berasal dari usia 45-54 tahun sebesar 7,3 juta lebih dengan jumlah perempuan 801 ribu orang dan laki-laki 6,5 juta orang.

Berdasarkan jenis kelamin, ungkap Adi, hasil ST 2013 menunjukkan ada sebanyak 31,70 juta orang petani. Sebanyak 24,36 juta orang (76,84 persen) di antaranya adalah petani laki-laki. Sedangkan 7,34 juta orang (23,16 persen) adalah petani perempuan.

Kesejahteraan Masih PR

Jika jumlah RT petani mengalami penurunan bagaimana dengan kesejahteraannya? Adi menjelaskan, dengan berkurangnya RT membuat lahan yang dikuasai tiap rumah tangga meningkat 119% menjadi 8.925 meter persegi (m2) per rumah tangga.

Namun kata dia, meningkatnya lahan yang dikuasai tersebut tidak berdampak banyak terhadap meningkatnya kesejahteraan petani. Hal ini tercermin dari nilai tukar petani (NTP) sejak 2003 hingga kini yang bergerak stagnan. Bahkan kecenderungannya menurun.

Dengan sensus tersebut Adi Lumaksono menilai dapat menjadi acuan bagi pemerintah guna menentukan rumah tangga usaha pertanian yang layak diberikan bantuan. ST 2013 juga dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam menentukan sentra-sentra produksi komoditas pertanian, hingga menjadi dasar dalam memperbaiki infrastruktur pertanian, seperti irigasi.

Apalagi lanjut Adi, ST 2013 juga memberikan data mengenai survei pendapatan rumah tangga usaha pertanian (SPP). Dengan demikian, pemerintah dapat menyiapkan skema terbaik dalam memberikan fasilitas kredit untuk usaha pertanian. “Data pertanian ST 2013 memiliki fungsi strategis sebagai rujukan bagi para pemangku kepentingan. Terlebih dalam membangun sektor pertanian yang baik, mutlak dibutuhkan data yang baik juga,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Kepala BPS, Suryamin berharap hasil ST 2013 ini dapat digunakan pengambil kebijakan untuk membangun sektor pertanian. Selama ini banyak yang menganggap sektor pertanian belum dioptimalkan. “Ini jadi momen pas data apa yang harus ditingkatkan pemerintah,” kata Suryamin.

Untuk mendongkrak kesejahteraan petani, menurut Suryamin pemerintah mendatang dapat memanfaatkan hasil ST 2013 secara maksimal mengingat dalam satu dekade terakhir, kesejahteraan petani terus menurun. Hasil sensus pertanian 2013 merupakan jawaban bagi pemerintah mendatang guna membuat kebijakan yang efektif dalam memperbaiki sektor pertanian, sekaligus kesejahteraan pelaku usaha tersebut, yakni petani.

“Data pertanian ST 2013 memiliki fungsi strategis sebagai rujukan bagi para pemangku kepentingan. Terlebih dalam membangun sektor pertanian yang baik, mutlak dibutuhkan data yang baik juga,” ujarnya.

Petani Beralih

Menanggapi menurunnya jumlah RT petani, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir mengatakan, menurunnya jumlah RT petani dalam 10 tahun karena berbagai hal. Pertama, lahan petani makin sempit sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Kondisi tersebut menyebabkan petani beralih profesi ke usaha lain.

Kedua lanjut dia, petani tergiur dengan mahalnya harga lahan yang pengusaha tawarkan, sehingga menjual lahannya. Dengan menjual lahannya, petani harus meninggalkan usaha pertanian. “Ini menjadi logika yang membuktikan lahan pertanian makin menyusut. Setiap tahunnya setidaknya 100 ribu ha sawah yang beralih fungsi,” ujarnya.

Dari ST 2013, yang pemerintah harus perhatikan adalah penurunan kesejahteraan petani, lahan pertanian makin berkurang, impor produk pertanian yang membanjiri pasar dalam negeri, PDB pertanian juga menurun.  “Hal pertama yang harus pemerintah lakukan untuk mengatasi persoalan harus memberikan perhatian khusus pada petani,” kata Winarno.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga harus bertekad mengurangi impor produk pertanian dan menambah alokasi anggaran. Petani juga harus dibimbing dalam mengatasi persoalan iklim yang kini terjadi. “Yang mutlak itu ekstensifikasi atau perluasan areal tanam yang sekarang makin sempit, khususnya di Pulau Jawa,” katanya.

Winarno menegaskan, untuk meningkatkan produksi pangan, saat ini pemerintah harus berpikir tidak hanya pada lahan sawah irigasi. Tapi sudah mulai berpikir sawah yang tidak berpengairan atau tadah hujan untuk mengangkat produksi pangan.

Caranya menurut Winarno dengan menggunakan bioteknologi. Dengan adanya teknologi tepat guna akan memudahkan petani berusaha tani. “Harapan saya ke depan bukan hanya green revolution, tapi bisa genetika revolution untuk mengatasi permasalahan pangan yang ada di Indonesia,” katanya. Echa

Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066

Editor : Julianto

BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018