Indonesia pernah mengalami masa keemasan pembangunan pertanian dengan era Green Revolution Technology (GRT). Namun dengan perubahan kondisi lingkungan, model pembangunan tersebut sudah tidak tepat lagi.
Saat ini adalah era blue economy (BE) yakni dengan memanfaatkan tipe-tipe lahan lain sebagai sumberdaya untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani. “Penggantian itu mendesak karena pemaksaan penggunaan GRT sudah tidak tepat. Utamanya karena lahan sawah beririgasi baik di Jawa maupun di pulau-pulau lain sudah sangat menyusut,”kata Pengamat Pertanian, Justika Baharsjah kepada Sinar Tani di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Justika, ada beberapa alasan mengapa GRT sudah tidak tepat lagi. Pertama, hingga kini sasaran swasembada tidak kunjung tercapai, sehingga melemahkan posisi Indonesia melawan desakan liberalisasi perdagangan global. Akibatnya impor hasil pertanian makin deras. Kedua, daerah-daerah otonom banyak tidak berperan dalam upaya mencapai sasaran swasembada. Ketiga, pembukaan lahan sawah baru ternyata mahal. Bahkan membutuhkan waktu panjang untuk bisa berkontribusi pada swasembada. Keempat, di daerah pedesaan terjadi involusi ekonomi pertanian. Tanda-tandanya rendahnya pendapatan tenaga kerja pertanian dibandingkan pendapatan di sektor industri dan jasa, termasuk pendapatan tenaga kerja rata-rata nasional.
Tanda-tanda lainnya menurut Justika, menurunnya jumlah petani karena urbanisasi petani gurem dan buruh tani. Selain itu terjadi land grabbing oleh perusahaan besar dan petani kaya atas lahan petani gurem. Hal itu kemudian membuat turun statusnya dari petani pemilik tanah menjadi buruh tani di atas bekas tanah miliknya. Kelima, pemerintah yang terus memaksakan upaya swasembada meski selalu gagal. Akibatnya, petani kehilangan peluang mengembangkan dan memberdayakan kebijakan lokal dan modal sosialnya. “Apabila dibiarkan involusi ekonomi pertanian di pedesaan akan membahayakan ekonomi nasional,”katanya.
Prinsip BE
Justika menjelaskan, pilihan BE didasarkan beberapa prinsip. Pertama, pendekatan wilayah dengan memanfaatkan berbagai tipe lahan baik lahan sawah beririgasi, lahan kering, lahan rawa dan lahan pasang surut dengan memanfaatkan kearifan lokal. Kedua, lanjutnya, petani sebagai soko guru pembangunan pertanian dianjurkan bekerjasama dalam kelompok/kooperasi. Dengan demikian petani dapat berpartner dengan swasta dalam pengolahan dan pemasaran hasil. “Dengan demikian yang dihasilkan bukan produk primer, tapi produk terolah yang mengandung nilai tambah,”ujarnya.
Dengan BE dilakukan sistem tumpangsari, termasuk dengan ternak dan ikan. Model pembangunan pertanian BE mendorong pengembangan prinsip tanpa limbah atau zero-waste, sehingga mempertahankan kelestarian lingkungan.
Justika menilai, pembangunan pertanian model BE lebih memungkinkan dilakukan "mainstreaming" daerah otonom dalam upaya pembangunan pertanian nasional. Disamping itu prinsip-prinsip BE bukan hal baru bagi petani Indonesia, melainkan telah menjadi bagian dari tradisi mereka.
Penyesuaian Model Pembangunan Blue Economy
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto