Pengembangan peternakan, khususnya sapi perah masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar. Banyak persoalan yang kini menyelimuti peternak sapi perah.
Direktur Budidaya Ternak, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Fauzi Luthan, mengatakan, ada beberapa permasalahan yang harus dihadapi dalam pengembangan peternakan sapi perah. Di antaranya, harga susu segar di tingkat petani yang rendah, konsumsi susu segar masih rendah, produktivitas ternak perah juga rendah, manajemen belum efektif dan efisien dan belum berkembangnya usaha rearing.
“Pengetahuan dan keterampilan peternak di Indonesia juga masih minim, sehingga susu yang dihasilkan belum maksimal,” kata Fauzi saat acara Bakohumas di Bandung, pekan lalu.
Dari kebutuhan susu sapi nasional, produksi dalam negeri hanya bisa memenuhi sekitar 22%, selebihnya impor. Padahal setiap tahun kebutuhan susu tumbuh 6%. Sayangnya peningkatan pertumbuhan konsumsi susu tersebut tidak diimbangi dengan kenaikan produksi dalam negeri yang hanya berkisar 2-3%.
Strategi yang pemerintah lakukan untuk pengembangan ternak sapi perah adalah meningkatkan populasi dan produktivitas. Peningkatan populasi dengan cara, penyelamatan pedet betina dalam rangka rearing, impor bibit sapi perah dan pengembangan sentra baru.
Peningkatan produktivitas melalui, optimalisasi inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio (TE), uji zuriat sapi perah, penerapan SISI, penyediaan dan pengembangan pakan, penanganan Keswan, peningkatan keamanan dan kualitas susu segar. Pemerintah juga melakukan komunikasi informasi dan edukasi konsumsi susu segar.
“Tidak hanya itu, pengembangan budidaya ternak perah di luar Pulau Jawa pun terus dilaksanakan. Hal ini terkait dengan pakan, karena di luar Pulau Jawa ketersediaan sumber pakan hijauan masih cukup melimpah,” tuturnya.
Penguatan Modal
Fasilitas Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) ternak perah pun masih terus diupayakan. Sejak diluncurkan 2006, pemerintah telah memfasilitasi sebanyak 252 kelompok sapi perah di 16 provinsi. Untuk ternak kambing perah baru diluncurkan 2009 dengan jumlah kelompok 184 di 14 provinsi. "Pada tahun 2014 kita akan mencoba memfasilitasi pengembangan budidaya kerbau perah melalui kegiatan PMUK di 11 kelompok pada 6 provinsi," kata Fauzi.
Pengembangan wawasan untuk SDM peternak dan petugas teknis dilaksanakan oleh Ditjen PKH bekerjasama dengan Balai Peternakan dan Kesehatan Hewan di Batu (Jatim) dan Balai Pelatihan Peternakan Sapi Perah Cikole di Lembang (Jabar). Bimbingan teknis ini diikuti oleh 80 orang setiap tahunnya per balai.
Fauzi menambahkan, bukti keseriusan Ditjen PKH untuk mengembangkan industri sapi perah adalah dengan bekerjasama dengan pihak asing, Jepang dan Selandia Baru. Kerjasama dengan Jepang telah dilakukan sejak 2009 melalui Counterpart Fund-Second Kenedy Round (CF-SKR) dan JICA. Kerjasama ini untuk meningkatkan produktivitas dan populasi sapi perah serta penanganan penyakit pada sapi perah. Sedangkan kerjasama dengan Selandia Baru yaitu dengan peningkatan SDM peternak dan petugas dalam rangka peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah.
Lokasi pengembangan sapi perah terdapat di 17 provinsi, yaitu, Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Sumsel, Bengkulu, Jambi, Lampung, Jabar, Yogyakarta, Jatim, Jateng, Kalbar, Kalsel, Sulut, Sulsel dan Sultra. Kambing perah berada di 13 provinsi yakni, Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Yogyakarta, Jabar, Jatim, Jateng dan Bali. Kerbau perah di 6 provinsi adalah, Sumut, Sumbar, Sumsel, Banten, Sulsel dan NTB. Cla
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto