Presiden Jokowi saat berkunjung ke gudang Bulog
TABLOIDSINARTANI.COM, JAKARTA---Hampir semua negara di Asia, khususnya ASEAN+3, melaksanakan kebijakan stok cadangan pangan, khususnya beras. Tujuanya untuk mengatasi gejolak harga melalui intervensi pasar dengan menambah pasokan agar harga stabil. Selain itu untuk keperluan darurat seperti menanggulangi bencana alam, perang, dan konflik sosial, serta menghambat aktivitas spekulasi pasar. Keberadaan cadangan diyakini memperkecil risiko food insecurity dan instabilitas harga.
Pemerintah Indonesia melalui Perpres No. 125/2022 tentang Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) telah menetapkan 11 jenis CPP yakni, beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan. Saat ini, CPP baru menyasar beras, jagung, dan kedelai yang pengelolaannya diserahkan ke Perum BULOG.
Regulasi tentang CPP beras, jagung, dan kedelai oleh Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) bisa dibilang komplet. Dari penetapan jumlah dan formula menghitung, pelepasan cadangan turun mutu, batas waktu simpan, harga pembelian pemerintah (HPP) dan rafaksi harga, serta penyaluran.
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional, Rachmi Widiriani, dalam acara Webinar Tata Kelola Cadangan Pangan Pemerintah: Mau Dibawa Kemana? pada Rabu (29/11) mengatakan, dalam perencanaan tata kelola cadangan pangan, Badan Pangan Nasional menjalankan perannya sebagai entitas yang terlibat dalam integrasi dari hulu hingga hilir.
Rachmi mengakui, dalam pengelolaan CPP memang keluar masuknya produk pangan harus diatur agar tidak terjadi kerusakan. Karena itu, proses hulu hingga hilir harus berjalan dengan baik. Bahkan berdasarkan Perpres No. 125 Tahun 2022, pengeloaan CPP menggunakan dinamik sistem dan tidak lagi iron stock yang dikunci rapat. “Bahan pangan kan harus muter. Jadi kita harus jaga komoditas pangan tersebut selalu ada di gudang Bulog. Kita sudah berusaha menjaga agar terus berputar, termasuk beras,” katanya.
Untuk memberikan kepastian penyaluran hilir, lanjut Rachmi, dalam pasal 11 Perpres No. 125 Tahun 2022, pemerintah telah menyiapkan beberapa kanal yang diperbolehkan untuk penyaluran CPP. Untuk beras ada bantuan pangan masyarakat miskin, stunting dan stabilisasi harga, termasuk ke pasar. Sedangkan jagung untuk penyaluran ke peternak mandiri.
Dalam menetapkan CPP, Rachmi mengatakan, Bapanas sudah membuat neraca pangan. Dari data itu dapat diketahui surplus dan defisit dengan memperhatikan warning, misalnya kondisi iklim dan kemungkinan gangguan produksi. Dengan neraca pangan, Bapanas membuat perencanan pengadaan CPP.
“Untuk tahun 2023, kami sudah membahas kemungkinan adanya tambahan beras dari luar negeri. Dengan beras tersebut pemerintah mempunyai alat untuk mengintervensi pasar,” katanya. Namun dalam memperkuat CPP yang komoditasnya beragam, Rachmi mengakui, Bapanas tidak bisa sendiri dan perlu kerjasama dari hulu hingga hilir dengan banyak pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, asosiasi, bahkan mitra dari luar negeri.
Dalam sistem penganggaran CPP, Rachmi mengatakan, pada tahun 2023 pemerintah telah melakukan uji coba dengan plafon pinjaman sebanyak Rp 3 triliun yang bisa dimanfaatkan Perum Bulog dan ID Food. Bahkan Perum Bulog sudah memanfaatkan plafon tersebut dan pengembaliannya dalam jangka waktu 6 bulan.
Untuk Tahun 2024, ungkap Rachmi, pemeirntah telah menyiapkan plafon anggaran sebanyak Rp 28 triliun dengan waktu pengembalian pokok dan bunga diperpanjang menjadi 1 tahun. Bahkan sudah ada Peraturan Menteri Keuangan. ”Kita sudah siapkan berapa jumlah dan ending stock sebagai dasar pinjaman. Nantinya bisa ke Himbara dan Himbasda. Memang masih ada bunga, tapi bunganya kecil,” tuturnya.
Perkuat CBP
Sementara itu, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Bidang Perekonomian Edy Priyono mengatakan, kebijakan pemerintah mengimpor beras bertujuan untuk memperkuat Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Dengan stok tersebut, pemerintah bisa melakukan stabilisasi harga beras di dalam negeri melalui bantuan pangan kepada masyarakat menengah ke bawah yang rentan terhadap kenaikan harga beras.
“Setelah adanya program SPHP memang harga tidak langsung turun, tapi paling tidak menstabilkan harga. Jadi meski harga beras tinggi, kita masih bisa menjaga masyarakat yang rentan miskin dari kenaikan harga beras. Kita melindungi kelompok masyarakat menegah ke bawah melalui bantuan pangan,” tuturnya. Bahkan jika melihat volume impor, jumlahnya juga sangat kecil tidak lebih 10 persen dari konsumsi nasional yang mencapai 2,5 juta ton/bulan.
Edy menegaskan, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dalam pengelolaan pangan terus berusaha imbang untuk berdiri di tengah antara produsen (petani dan peternak) dan konsumen. Pemerintah dituntut untuk menjalankan peran krusial dalam menyeimbangkan beragam kepentingan yang melibatkan stabilitas harga dan ketersediaan pangan.
“Sekarang kita sedang upayakan untuk monitor bukan hanya CPP tetapi juga stok pangan seperti beras melalui pelaporan perusahaan penggilingan. Sehingga bisa monitor lebih akurat kekurangan supply maupun kelebihan supply ada dimana,” tuturnya.
Kedepannya, pengelolaan CPP ini mau tidak mau harus dikelola secara digitalisasi, terutama berbasis Artificial Intellegence (AI) dan Blockchain seperti yang diungkapkan Kepala Program Studi dan Agromaritim, Magister IPB University, Yandra Arkeman. “Penyebab kelangkaan atau krisis pangan paling utama adalah pasokan tidak sampai ke konsumen. Karena kita tidak bisa memprediksi demand dan supply dengan cermat dan akurat,” tegasnya.
Sebab, menurut Prof. Yandra, keberadaan cadangan pangan berkaitan dengan sistem logistik dan rantai pasok pangan. Sayangnya, Indonesia hingga sekarang masih belum punya sistem logistik dan rantai pasok pangan yang trusted, transparant dan traceable.
Sistem yang ada sekarang ini, diakui Prof Yandra, masih manual dan semi otomatis sehingga belum memberikan informasi yang presisi secara real time dan belum mampu menjamin transparansi dan ketelusuran dalam rantai pasok. Karena itu, perlu adanya sistem logistik nasional yang tidak terlepas dari basis teknologi digital terkini yaitu Artificial Intelligence (AI) dan Blockchain.
"Ketika membicarakan ketertelusuran pangan, kita merujuk pada kemampuan untuk melacak setiap komponen melalui seluruh alur distribusi. Ini tidak hanya berkaitan dengan asal-usul makanan, tetapi juga mencakup perjalanan makanan setelah melewati setiap tahap produksi. Dengan kata lain, ketertelusuran dalam sistem pangan melibatkan jejak sepanjang rantai pasokan, dan teknologi blockchain mampu memperkuat proses ini," tuturnya.
Prof Yandra mengingatkan, beberapa negara maju kini sudah memetakan kondisi pangan mereka dan negara-negara dunia berdasarkan peta pangan dunia (Global Yield Gap Atlas) yaitu, basis data Dunia mengenai data agronomi berkualitas tinggi dengan relevansi dari tingkat lokal hingga global, mencakup 13 tanaman pangan utama di 70 negara dan enam benua.
Bagi sahabat Sinar Tani bisa mendapatkan materi dan e sertifikat di link bawah ini:
Meteri Webinar : Webinar Tata Kelola Cadangan Pangan Pemerintah
E Sertifikat : E Sertifikat Webinar Tata Kelola Cadangan Pangan Pemerintah