Minggu, 20 April 2025


KTNA Soroti Bulog yang Lebih Suka Beli Beras Daripada Gabah Petani

20 Jan 2025, 11:50 WIBEditor : Gesha

Bulog kini ditugaskan mengelola semua komoditas penting, mulai dari beras hingga Minyakita. Dengan tantangan besar ini, bisakah Bulog menjaga stabilitas harga dan memastikan pasokan pangan di seluruh Indonesia?

TABLOIDSINARTANI.COM -- KTNA mengkritik Bulog yang kenyataan di lapangan lebih memilih membeli beras ketimbang gabah petani, yang berisiko merugikan petani dan menurunkan harga gabah saat panen.

Petani di Indonesia kini semakin vokal menyuarakan keprihatinannya terhadap peran Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam menyerap hasil pertanian mereka.

Mereka menegaskan bahwa yang mereka jual bukanlah beras, melainkan gabah.

Dan karena itu, Bulog seharusnya lebih aktif membeli gabah sesuai dengan harga yang telah ditetapkan dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional (Kepbadan) Nomor 2 Tahun 2025, yang mematok harga pembelian gabah sebesar Rp6.500 per kilogram.

Yadi Sofyan Noor, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), mengungkapkan kekhawatirannya terkait ketidakefektifan Bulog dalam menjalankan fungsi stabilisator harga.

Ia mengatakan bahwa di tengah musim panen seperti sekarang, Bulog seharusnya sudah bergerak untuk menjaga harga gabah tetap stabil.

Namun, kenyataannya, mereka belum melihat Bulog melakukan langkah konkret yang diharapkan oleh pemerintah, baik oleh Menko Pangan maupun Presiden. 

"Untuk padi petani itu jual gabah bukan beras. Mestinya pada saat panen yang ada sekarang Bulog sudah aktif menjaga HPP Gabah Kering Panen (GKP). Tapi kami melihatnya Bulog belum bekerja seperti arahan dan keinginan Menko Pangan dan Presiden," ujar Yadi Sofyan Noor.

Menurut Yadi, petani menjual gabah, bukan beras. Meskipun demikian, Bulog masih tampak kurang serius menyerap gabah sesuai dengan harga yang seharusnya.

Ia menjelaskan bahwa ada kriteria yang harus dipenuhi agar gabah bisa dihargai sesuai dengan HPP, yakni harus memenuhi standar kualitas dengan kadar air maksimal 25 persen dan kadar kotoran tidak lebih dari 10 persen.

Namun, di lapangan, banyak gabah yang sudah memenuhi kriteria tersebut, tetapi sering kali dibeli dengan harga di bawah HPP, bahkan dengan harga yang jauh lebih rendah.

"Rafaksi itu yang nanti dijadikan dasar dan alasan untuk beli di bawah HPP. Itu yang dimanfaatkan para tengkulak dan penggilingan padi. Kalau GKP itu di lapangan sudah umum kadar air 25 persen dan kotoran gabah sekitar 5 persen," ujarnya.

Tak hanya itu, Bulog juga mendapatkan sorotan karena sering kali membeli beras, bukannya gabah, seperti yang terjadi di Sumatera Selatan.

Di daerah tersebut, pada musim panen, gabah yang seharusnya dihargai Rp6.500 hanya dibeli dengan harga Rp5.500 per kilogram, jauh lebih rendah dari ketentuan yang berlaku mulai 15 Januari 2025.

Tindakan ini semakin menambah ketidakpuasan petani, karena mereka merasa tidak diperlakukan dengan adil.

"Ada juga di daerah lain Bulog malah nyerap beras bukan gabah," ujarnya.

Sebagai tambahan, Yadi juga menyoroti bahwa ada faktor lain yang turut mempengaruhi penyerapan gabah.

Rafaksi, yang menjadi dasar penghitungan harga beli gabah, kerap kali dimanfaatkan oleh tengkulak dan penggilingan padi untuk membeli gabah dengan harga lebih rendah dari HPP.

Padahal, kualitas gabah yang dibeli oleh Bulog di lapangan umumnya sudah sesuai dengan standar, dengan kadar air 25 persen dan kadar kotoran sekitar 5 persen.

Hal ini tentu merugikan petani, yang seharusnya mendapat harga yang lebih sesuai dengan kualitas yang mereka hasilkan.

Namun, tidak hanya petani yang merasa khawatir, Bulog juga memiliki target yang cukup tinggi untuk penyerapan gabah pada tahun 2025.

Di Sumatra Utara, Bulog menargetkan penyerapan gabah setara dengan 500 ton beras pasca pemberlakuan HPP yang baru.

Budi Cahyanto, Pimpinan Wilayah Bulog Sumatra Utara, menjelaskan bahwa mereka berencana menyerap sekitar 1.000 ton gabah kering pada tahun 2025.

Meskipun target tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2024 yang mencapai 1.000 ton, mereka tetap optimis bahwa penyerapan gabah bisa dilakukan lebih maksimal dengan adanya HPP baru yang lebih tinggi.

"Budi menyatakan, Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah mengeluarkan acuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Rafaksi Harga yang baru untuk harga gabah kering panen (GKP), harga gabah kering giling (GKG) dan juga harga beras. HPP itu berlaku mulai 15 Januari 2025," terang Budi.

Meskipun ada upaya untuk memperbaiki sistem penyerapan gabah ini, banyak pihak yang merasa masih ada yang perlu dibenahi.

Petani berharap agar Bulog dapat lebih serius dan transparan dalam menjalankan tugasnya, serta memastikan harga yang pantas untuk hasil pertanian mereka.

Mereka menginginkan adanya kestabilan harga yang lebih adil, serta mekanisme yang jelas dalam pembelian gabah, sehingga mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih layak dari usaha pertanian mereka.

Penting bagi Bulog untuk lebih peka terhadap kebutuhan petani, khususnya dalam hal penyerapan hasil panen sesuai dengan harga yang sudah ditetapkan pemerintah.

Jika tidak, bukan hanya petani yang akan merugi, tetapi juga ketahanan pangan negara yang berisiko terancam.

Saatnya Bulog melakukan langkah-langkah konkret untuk memastikan keberlanjutan sektor pertanian dan kesejahteraan petani di seluruh Indonesia.

Reporter : Nattasya
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018