TABLOIDSINARTANI.COM, JAKARTA -- Pemerintah mulai Oktober 2019 mewajibkan seluruh produk pangan memiliki sertifikasi halal. Hal ini untuk melindungi konsumen, terutama masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan hampir 270 juta jiwa dan 87% beragama Islam. Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, produk pangan halal menjadi yang utama. Karena itu sertifikat halal di produk pangan menjadi kewajiban bagi para produsen makanan dan minuman.
Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati, Agus Sunanto mengatakan, berdasarkan Undang-Undang No.18/2012 mengenai Pangan telah tercantum bahwa pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah pangan yang aman bagi kesehatan manusia serta tidak boleh bersebrangan dengan budaya dan keyakinan masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah pangan halal.
Nah, untuk menjamin pangan tersebut adalah produk halal, diperlukan kepastian hukum. Makanya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.33/2014 mengenai Jaminan Produk Halal yang dibuktikan dengan sertifikat halal.
“UU ini dikeluarkan untuk keamanan, keselamatan dan kepastian produk halal yang beredar di masyarakat sesuai dengan apa yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia,” kata Agus saat Seminar dan Display Produk Halal ‘Sertifikasi Halal Produk Pangan Olahan’ di Jakarta, Rabu (13/3).
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman mengatakan, bukan hanya negara yang berpenduduk mayoritas muslim yang kini memberlakukan wajib sertifikasi halal. Negara lain seperti Thailand, Jepang, Korea, Uni Eropa bahkan hingga AS juga mulai memasarkan beberapa produk pangannya dengan sertifikat halal.
“Mereka ini sekarang menyasar wisatawan muslim untuk pemasukan devisa negaranya. Makanya mereka mulai memasarkan produknya dengan sertifikat halal,” kata Adhi.
Dengan makin banyaknya negara non muslim memasarkan produk halal, membuka Indonesia untuk lebih menggencarkan kembali memasarkan produk pangan halal. Makanya sertifikat halal menjadi kewajiban di tahun 2019 ini, tepatnya Oktober 2019, terutama produk hewani. “Kita ini sudah memasuki new era halal, dimana negara di dunia berlomba membuat produk halal. Indonesia jangan mau kalah karena negara kita adalah negara mayoritas muslim terbesar di dunia,” jelas Adhi.
Kriteria Produk Halal
Sementara itu Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Produk Halal, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama, Siti Aminah mengatakan, dalam UU No.33/2014 pada pasal 4 dituliskan bahwa produk yang masuk, beredar diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal.
Produk tersebut adalah makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, produk rekayasa genetika, dan barang gunaan yang dipakai atau dimanfaatkan oleh masyarakat. “Jadi produk ini harus bersertifikat halal yang berlaku selama 5 tahun,” katanya.
Produk halal yang disebutkan untuk mendapatkan sertifikat halal adalah produk yang tidak mengandung babi, bangkai, darah, khamar (minuman keras), serta disembelih (produk hewani) dengan menyebut nama Allah. Jika di dalamnya mengandung babi, bangkai, darah, khamar dan disembelih dengan tidak menyebut nama selain Allah, tidak bisa mendapatkan sertifikat halal. “Satu saja produk kita terkontaminasi dengan sesuatu yang dianggap tidak halal (haram), sertifikat halal tidak akan dikeluarkan untuk produk tersebut,” terang Aminah.
Aminah menegaskan, mulai 17 Oktober 2019 semua produk pangan wajib memiliki sertifikat halal. “Untuk saat ini yang wajib adalah produk pangan hewani atau yang mengandung hewani dahulu. Baru setelah itu yang lainnya. Pada intinya produk yang dikatakan halal bukan hanya dari bahan bakunya saja, melainkan prosesnya juga harus halal,” katanya.