Rabu, 21 Mei 2025


Mempercepat Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat

09 Mar 2022, 14:25 WIBEditor : Yulianto

Webinar Peremajaan Sawit Rakyat yang diselenggarakan Tabloid Sinar Tani bersama BPDPKS

TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi salah satu program pemerintah untuk keberlanjutan produksi sawit dalam negeri. Setidaknya ada 2,8 juta hektar (ha) tanaman sawit milik rakyat yang berpotensi untuk diremajakan.

Bagi bangsa Indonesia, sawit merupakan pendulang devisa negara dengan kontribusi ekspor mencapai Rp 451,8 triliun atau 80 persen dari penerimaan negara, bahkan lebih besar dari minyak dan gas. Bukan hanya itu, komoditas sawit juga berkontribusi pada lapangan pekerjaan langsung di perkebunan sebanyak 4,2 juta dan tidak langsung mencapai 12 juta orang.

Bahkan kini sawit berkontribusi menggantikan bahan bakar fosil sebanyak 8,4 juta kiloliter. Melalui program B30, pada tahun 2020 mampu menghemat devisa sebanyak Rp 38 triliunKarena itu untuk mempertahankan produksi, pemerintah sejak tahun 2017 menggelar program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Perkebunan, Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan, saat ini luas areal sawit mencapai 16,38 juta hektar (ha) dengan produksi 48 juta ton. Dari luasan lahan sawit rakyat sebanyak 6,94 juta ha.

“Dari luas perkebunan sawit rakyat tersebut yang mempunyai potensi untuk peremajaan sebanyak 2,8 juta ha dengan sebaran dominan berada di Sumatera dan Kalimantan,” kata Bagus saat Webinar Mendorong Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat kerjasama Tabloid Sinar Tani dengan BPDPKS, Rabu (9/3).

Dari 2,8 juta ha kebun sawit rakyat, perinciannya lahan petani plasma dan swadaya 2,29 juta ha, plasma PIRBUN 0,14 juta ha dan PIR trans 0,37 juta ha. Luas kebun sawit yang menjadi target pemerintah tersebut berada di Sumatera 397.200 ha, Kalimantan 86.000 ha, Sulawesi 44.500 ha, Jawa 6.000 ha dan Papua 6.000 ha. Totalnya 540 ribu ha.

Ini penyebaran lokasi sawit yang ditargetkan dilakukan peremajaan,” ujarnya. Pemerintah telah menargetkan realisasi PSR tahun 2017 sebanyak 20.780 ha, tahun 2018 (185 ribu ha), tahun 2019 hingga 2021 masing-masing 180 ribu ha.

Namun diakui pelaksanaan PSR belum sesuai harapan. Misalnya tahun 2017 baru mencapai 13.206 ha, tahun 2018 (35.198 ha), tahun 2019 (88.339 ha), tahun 2020 (92.066 ha), tahun 2021 (27.747 ha) dan tahun 2022 hingga kini baru 1.190 ha.

Guna mempermudah pelaksanaan PSR, Bagus mengatakan, pemerintah telah mempermudah persyaratan dan prosedur agar memberikan keleluasaan calon peserta PSR. Misalnya, jika selama peridoe 2017-2018 ada 14 syarat, maka tahun 2019 syaratnya dikurangi menjadi 8 syarat. Bahkan sejak tahun 2020 hanya 2 syarat yakni kelembagaan pekebun dan legalitas lahan.

Bukan hanya itu, dalam proses verifikasi juga kian dipercepat. Jika tahun 2017-2018 harus melalui tiga kali verifikasi dari mulai tingkat daerah hingga pusat. Namun sejak tahun 2019, calon peserta PSR bisa melalui online melalui aplikasi PSR online. Jadi tidak perlu melampirkan fisik dokumen. “Ini upaya kita mempercepat realisasi PSR,” ujarnya.

BPDPKS Siapkan Dana PSR

Sementara itu Kepala Divisi Pemungutan Biaya dan Iuran CPO BPDPKS, Ahmad Munir mengatakan, dalam program PSR pihaknya membantu pendanaan bagi pertumbuhan sektor sawit, terutama peremajaan sawit. Jadi dana di BPDPKS dari penghimpunan dana untuk kegiatan belanja program, termasuk PSR.

“Program PSR ini merupakan kebijakan dan kewenangan Kementerian Pertanian. Disain pelaksanaan serta panduan pelaksanaan program ditetapkan oleh Kementerian Pertanian sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 3 Tahun 2022,” katanya.

Diakui banyak manfaat dari PSR ini. Mislanya, sebagai strategi stabilisasi harga dalam mengurangi stok minyak sawit, sehingga mendorong peningkatan harga CPO termasuk TBS (tandan buah segar). Selain itu, meningkatkan produktivitas seiring dengan peningkatan komposisi tanaman produktif, dan meningkatkan pendapatan pekebun.

Karena itu dalam pengusulan PSR, BPDPKS membuat aplikasi PSR online dan Smart PSR untuk mempercepat usulan PSR dari pekebn. “Jadi jika biasanya pekebun harus menandatangani PKS, sekarang kami sosialisasikan PSR online dan Smart PSR untuk mempermudah PSR. Mudah-mudahan tahun 2022 bisa mencapai target 180 ribu ha,” tuturnya.

Sebagai upaya percepatan PSR melalui pola kemitaraan dengan perusahan inti seperti yang digagas Kementerian Pertanian, Munir mengatakan, pihaknya akan mencoba membuat pola dan menuangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. “Saat ini lagi kita proses untuk membuat pola kemitraan mudah-mudahan cepat selesai. Selanjutnya nanti ada peraturan Dirut BPDPKS untuk pola kemitaraan tersebut,” ujarnya.

Sementara itu, Peneliti Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Ratnawati Nurkhoiry mengatakan, setidaknya ada empat titik kritis PSR. Pertama, kesiapan perkebun. Bagaimana pemerintah memberikan jaminan pendapatan kepada petani selama masa TBM (tandan buah menghasilkan).

“Ini menjadi kendala. Kalau pekebun mempunyai beberapa lahan, mungkin bisa gantian melakukan peremajaan. Tapi kalau hanya punya 1 lahan, mereka mungkin harus mempertimbangkan kembali untuk meremajakan tanaman,” tuturnya.

Kedua, ketersediaan bahan tanaman/bibit unggul untuk menjamin peningkatan produktivitas tanaman. Ketiga, kesiapan kelembagaan pekebun. Kelembagaan pekebun akan meningkatkan posisi tawar dan akses terhadap sarana produksi, pendanaan dan pemasaran hasil.

Keempat, kemitraan dalam proses peremajaan, akses sarana produksi, pendanaan dan pemasaran hasil. “Titik-titik kritis ini harus menjadi perhatian. Apalagi saat ini harga rata-rata TBS masih cukup tinggi. Kondisi tersebut menjadikan pekebun cenderung menahan untuk peremajaan. Jadi perlu jaminan pendapatan pengganti selama masa TBM disaat pekebun memutuskan untuk peremajaan,” tuturnya.

Bagaimana dengan kesiapan petani/pekebun sawit? Masalah utama menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung, lahan calon PSR cenderung terkendala dalam kawasan hutan. Padahal petani telah memiliki umur tanaman 25 tahun lebih. “Hampir 84 persen gagal usul,” ujarnya.

Kendala lain, minimnya informasi PSR kepada petani yang menganggap dana hibah menjadi pinjaman yang wajib dikembalikan. Selain itu, konfirmasi administrator akun yang cukup lama, khususnya melalui dari disbun Kab/Kota. Pihak bank cenderung tidak paham program pola PSR, sehingga hanya mau menjadi fungsi penyalur dana hibah saja,” katanya.

Karena itu Gulat mengusulkan perlu adanya paradigma baru PSR yakni, petani PSR harus menjadi operator, bukan sebagai objek. Permentan 03 tahun 2022, jangan meninggalkan petani mandiri (non-mitra). Sawit eksisting tertanam untuk PSR harus tol-clear untuk PSR sesuai dengan UU Cipta Kerja.  “Biaya PSR per hektar harus dinaikkan dan PSR harus sepaket dengan ISPO,” katanya.

Bagi Sahabat Sinar Tani yang ingin mendapatkan materi, sertifikat dan melihat kembali siaran di SINTA TV bisa melalui link di bawah ini.

Link Sertifikat : Esertifikat Webinar Peremajaan Sawit Rakyat

Link Materi : MATERI WEBINAR PEREMAJAAN SAWIT RAKYAT

Link SINTA TV : 

Reporter : Julian
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018