Back to Nature (kembali ke alam). Slogan tersebut kini menjadi sebuah tren dan tuntutan masyarakat dunia. Semua itu tidak lepas dari keinginan untuk hidup lebih sehat tanpa bahan kimia.
Karena itu pengembangan pertanian organik menjadi sebuah jawaban terhadap kecemasan masyarakat akan bahaya bahan-bahan kimia yang berlebihan. Bukan hanya kecemasan terhadap kesehatan manusia, tapi juga kelestarian lingkungan.
Semua tahu, kesehatan tubuh sangat tergantung pada makanan yang dikonsumsi. WHO (World Health Organization) mencatat, selama beberapa tahun banyak bermunculan penyakit akibat keracunan zat kimia yang digunakan untuk pertanian, baik dari pestisida dan pupuk kimia. Organisasi Kesehatan Dunia itu menilai, produk pertanian yang memiliki residu bahan kimia beracun dapat memicu proses degradasi kronik, penuaan dini dan penyakit degeneratif.
Sementara dari sisi kelestarian lingkungan ternyata produk berbahan baku kimia membuat produk yang dihasilkan ikut tercemar. Sebab dikhawatirkan pestisida yang disemprotkan ke tanaman akan masuk dan meresap ke dalam sel-sel tumbuhan, baik melalui akar, batang, daun dan buah.
Bahaya lainnya adalah produk berbahan baku kimia juga menyebabkan lahan menjadi tidak subur. Contoh apa yang terjadi pada lahan kering, khususnya di Pulau Jawa. Hasil penelitian Badan Litbang, Kementerian Pertanian, hampir 60% lahan kering di Pulau Jawa memiliki kandungan bahan organik di bawah 1% alias dalam kondisi kritis. Padahal tanaman, khususnya yang berakar dangkal, seperti sayuran memerlukan kandungan bahan organik lebih dari 2%.
Untuk mengatasi lahan kritis tersebut menurut Kepala Badan Litbang Pertanian, Haryono, mutlak diperlukan asupan bahan organik. “Hal tersebut tidak bisa dibiarkan dan harus segera diambil tindakan untuk mengembalikan bahan-bahan organik ke dalam tanah. Salah satunya mengaplikasikan kegiatan pertanian organik,” ujarnya.
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Ahmad Soim