TABLOIDSINARTANI.COM - Hama dan penyakit terus bermutasi menjadikan serangan yang lebih berat dan mematikan. Covid-19 dikabarkan sudah bermutasi dan mengakibatkan terjadinya wabah gelombang kedua di beberapa negara. Hama juga demikian. Perkembangan hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi berubah, bertambah banyak atau bertambah mematikan.
Mang Alnasim, petani setengah tua mengamati perkembangan hama di sawahnya. Insektisida dan pestisida yang digunakan di daerahnya semakin meningkat, tidak cukup hanya satu liter per hektarenya. Dia tahu, ini tidak hanya berdampak pada biaya produksi tetapi banyak kehidupan lain yang ikut terkena dampak racun, seperti kodok, burung, semut, ikan dan bahkan manusia. Buktinya banyak juga petani yang keracunan. Yang jelas mahluk hidup yang biasa memangsa hama/penyakit tanaman juga ikut mati keracunan.
Alnasim tak biasa naik sepeda, tapi dia mendapat pepatah tentang naik sepeda. Katanya “Hidup itu ibarat naik sepeda, supaya tidak terjatuh harus terus mengayuh”. Itu kata orang bijak. Ada dua hal terkandung dalam ungkapan itu, pertama harus tetap berjalan, berusaha tidak berhenti, dan kedua ada keseimbangan, karena terlalu pelan bisa jatuh dan terlalu cepat berbahaya.
Memang dari semua yang dialaminya kata “terlalu” itu tidak baik. Itu berkonotasi berlebihan atau ekstrim. Keterlaluan atau kebangetan kata anak milenial. Terlalu banyak, terlalu sedikit itu kalau diterapkan pada sesuatu yang baik pun hasilnya jadi kurang baik. Misalnya makan, bekerja, berlatih, berusaha. Apabila kalau diterapkan ke pengelolaan sumberdaya alam, termasuk di bidang pertanian, dampaknya akan sangat luas.
Jutaan kelelawar yang hidup di gua-gua di Thailand sangat dijaga karena mereka memangsa insek yang menjadi hama tanaman padi. Hewan-hewan nokturnal itu memiliki peran yang sangat penting di alam di negeri ini, karena mereka terutama membantu penyerbukan tanaman dan menghilangkan serangga dan hama. Kelelawar lidah panjang dan kelelawar buah lainnya juga terkenal karena melakukan penyerbukan bunga durian.
Burung-burung di banyak negara, termasuk Pakistan, Nepal, Bangladesh dan India dibiarkan hidup, tidak ditangkap, dijual apalagi dimakan (kecuali dikabarkan baru-baru ini, India menangkap burung merpati yang diduga mata-mata dari Pakistan, walaupun akhirnya dilepaskan kembali). Mereka juga memangsa hama.
Di sana, negara mengatur, menangkap, memperdagangkan satwa itu melanggar Undang-Undang. Maka burung berwarna-warni, burung betet yang bunyinya jelek hanya “tet..tet..tet……” bergelayutan di sebelah hotel di kawasan kota Islamabad memamerkan warna bulunya yang indah. Negara kita ada di empat besar dunia untuk total jenis burung terbanyak dan sebanyak 527 jenis burung secara alami hanya dijumpai di wilayah negara kita sendiri. Yang sudah diproteksi saja masih ada yang ditangkap dan diperjualbelikan secara ilegal, apalagi yang tidak diproteksi.
Kita memang sudah mengayuh sepeda terlalu cepat, memperkosa alam terlalu kasar. Burung ditangkap, kalau tidak dijual, dikurung atau dimakan. Kodok, ular, biawak, buaya, monyet dan binatang buas di hutan juga ditangkap. Mereka juga sebagian mati karena tempat tinggalnya dirusak. Kalong di Kebun Raya Bogor yang dulu jadi icon kota hujan ini sekarang sudah kabur entah ke mana. Kesimbangan alam berubah. Maka alam bereaksi dan membuat keseimbangan baru. Ini barangkali “New Normal” versi alam, yang menciptakan “New Normal” versi manusia yang kita alami sekarang ini.
Pada tahun 1980-an kita mempunyai Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang pada intinya mengelola hama untuk tidak serta merta diberantas dengan insektisida kecuali apabila serangannya melewati ambah batas tertentu. Kerjasama Petani-Penyuluh-Pengamat Hama yang dikelola PHT ini sangat efektif dan bahkan menjadi teladan sehingga dicontoh oleh negara-negara lain.
Sayang kegiatan ini sekarang memudar. Mudah-mudahan, dengan semangat membangun pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, pola-pola pengelolaan alam di bidang pertanian ini dapat dihidupkan kembali. Kita memang harus pintar berdamai dengan hama sekali pun. Berdamai itu dalam pengertian mengelola agar dampaknya terkendali, jangan diartikan menyerah.