TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta --- Harga porang iris kering yang terus melonjak dari tahun ke tahun membuat banyak petani banting setir menanam porang. Namun, budidaya tanaman porang terhambat kelangkaan dan mahalnya harga benih/bibit porang.
Selama ini, petani mendapatkan benih porang dari umbi, katak/bulbil atau biji pada bunga porang. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan menjamin ketersediaan bibit porang adalah dengan menerapkan teknik kultur jaringan.
Peneliti Ahli Utama BB Biogen, Badan Litbang Pertanian, Ika Roostika Tambunan mengatakan bahwa tanaman porang (Amorphophallus muelleri) merupakan tanaman jenis umbi-umbian yang bernilai ekonomi tinggi. Biasanya, porang diekspor dalam bentuk chips atau tepung.
Dalam industri pangan, porang bisa diolah menjadi tepung, shirataki, konyaku, dan gelling agent. Dalam industri industri obat-obatan porang berkhasiat untuk menurunkan kolesterol dan gula darah, mencegah kanker, serta menurunkan obesitas dan mengatasi sembelit. Sementara, dalam industri lainnya, porang menjadi bahan baku lem, pelapis anti air, cat, negative film, pita seluloid, dan kosmetika mewah.
Ika mengatakan, saat ini tanaman porang menjadi booming karena kebutuhannya sangat tinggi hingga menimbulkan kelangkaan benih. Biasanya petani menggunakan benih alami dari umbi dan katak/bulbil yang harganya mencapai Rp 150-400 ribu/kg. Sementara kebutuhan benih porang untuk satu hektare lahan sekitar 200 kg sehingga petani harus mengeluarkan biaya antara Rp 30 juta – Rp 80 juta.
“Perbanyakan benih porang biasanya menggunakan katak/bulbil. Ketika kebutuhan benih tidak dapat terpenuhi secara konvensional, harus ada sentuhan teknologi dalam hal ini adalah teknik kultur jaringan,” kata Ika saat menjadi pembicara dalam Webinar “Perlukah Kultur Jaringan untuk Porang Saat ini?” yang digelar Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) pada Rabu (10/3).
Kultur jaringan, terangnya, merupakan teknik mengisolasi bagian tanaman berupa protoplas/sel telanjang, sel, jaringan, atau organ, secara aseptis dan ditumbuhkan secara in vitro (dalam botol) hingga membentuk planlet (tanaman utuh). Sejak November 2019-Desember 2020, BB Biogen berkolaborasi dengan Direktorat Perbenihan untuk melakukan Uji Produksi Benih Porang melalui Kultur Jaringan.
“Perbanyakan melalui kultur jaringan memiliki keunggulan karena bisa dilakukan secara masal dalam waktu cepat, tidak tergantung pada musim, menghasilkan bibit sesuai dengan induknya, seragam, bebas hama dan penyakit, serta mudah untuk didistribusikan (khususnya dalam bentuk planlet). Di samping itu karena adanya zat pengatur tumbuh pada saat ditumbuhkan secara in vitro maka pertumbuhan juga menjadi lebih cepat,” terangnya.
Tahapan kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman meliputi pemilihan tanaman induk, sterilisasi eksplan/bahan tanaman, penanaman in vitro/di laboratorium, subkultur (multiplikasi tunas), induksi perakaran hingga menjadi planlet, aklimatisasi di rumah kasa/kaca, dan transplanting/pemindahan ke lapang.
Tanaman hasil kultur jaringan, lanjutnya, memerlukan tahapan aklimatisasi supaya bisa beradaptasi pada lingkungan sebelum dipindahkan ke lapang. Proses aklimatisasi bisa menggunakan media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang atau kompos kemudian disungkup dengan plastik selama 1 bulan.
Pada kesempatan tersebut, Dahlan Iskan, Dewan Pertimbangan Perkumpulan Petani Porang Nusantara (PPPN) sangat mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh BB Biogen melalui teknologi kultur jaringan untuk mengatasi kelangkaan benih porang.
===
Sahabat Setia SINAR TANI bisa berlangganan Tabloid SINAR TANI dengan KLIK: LANGGANAN TABLOID SINAR TANI. Atau versi elektronik (e-paper Tabloid Sinar Tani) dengan klik: myedisi.com/sinartani/