Sabtu, 14 Desember 2024


Siasati Perubahan Iklim dengan Food Smart Village

30 Jun 2021, 17:24 WIBEditor : Yulianto

Perubahan iklim dapat menyebabkan banjir | Sumber Foto:Dok. Sinta

TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Perubahan iklim menjadi tantangan bagi peningkatan produksi pangan. Karena itu harus ada upaya adaptasi agar produksi pangan tak terganggu. Salah satu yang kini didorong Badan Litbang Pertanian adalah food smart village (FSV).

Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, Joko Pramono saat Lokakarya DPW Perhiptani Jawa Tengah, Selasa (29/6) mengatakan, ada lima pilar FSV. Pertama, optimalisasi sumberdaya lahan dan air melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya iklim, air permukaan, air tanah dan modifikasi iklim mikro.

Kedua, lanjutnya, keanekaragaman buiddaya tanaman pangan dan hortikultura sesuai dengan zona agroklimat. Ini bisa dilakukan dengan pola tanam yang adaptif perubahan iklim.

Joko mengungkapkan, pihaknya miliki pengalaman di Gunung Kidul. Di lahan sawah tadah hujan yang biasanya hanya bisa tanam satu kali, lalu palawija (sorgum dan jagung), dengan memanfaatkan sumber informasi Katam Terpadu dengan kombinasi teknologi adaptif perubahan iklim bisa tanam dua kali.

Cara yang dilakukan adalah dengan menanam lebih awal dengan varietas genjah, sebelumnya petani menanam varietas umur 110 hari. Setelah panen dilakukan semai penuh.

“Dengan cara itu kita bisa ubah tanam satu kali menjadi dua kali, pada musim ketiga petani menanam sayuran. Ini kombinsasi dengan sumberdaya air. Kita gunakan air tanah,” tuturnya.

Pilar ketiga yakni, sistem integrasi tanaman ternak. Cara ini untuk meningkatkan nilai tambah produksi pertanian, serta meningkatkan produktivitas lahan. “Dengan ternak  kita bisa tingkatakn kesuburan lahan dengan mengolah kotoran sapi menjadi pupuk,” ujarnya.

Keempat, sistem pertanian konservasi, khususnya di lahan kering. Inovasinya pada musim pertama, petani tidak perlu olah tanah sempuruna, penggunaan mulsa untuk dan tanaman penutup tanah.

Selain itu juga dilakukan rotasi tanam, tumpang sari dengan tanaman penambat nitrogen. “Sistem ini bisa mengurangi dampak perubahan iklim dan degradasi lahan pertanian, terutama lahan kering yang ada lereng gunung,” katanya.

Kelima, ungkap Joko, pemanfaatan kembali limbah pertanian dan ternak dalam sistem produksi pertanian. Kegiatannya dengan memanfaatkan seoptimal mungkin hasil limbah pertanian dan ternak melalui pendekatan 3 R. Pertama, reduce yakni mengurangi sebanyak mungkin kehilangan limbah di luar sistem produksi pertanian.

R kedua adalag Reuse. Yakni menggunakan kembali sebanyak mungkin limbah pertanian dan ternak. R ketiga, Recyle. Artinya, seluruh leimbah pertanian dan ternak yang dihasilkan selalu dalam proses daur ulang di dalam sistem produksi.

“Di lapangan kita menghimbau petani untuk mengembalikan jeriami ke lahan, namun memang masih banyak petani yang kurang berkenan. Alasan, bisa mengganggu aktifas olah tanah,” katanya.

Namun dengan dengan mekanisasi, seperti combine harvester, otomatis hampir sebagian besar jerami tidak kembali/terangkut ke luar lahan. “Dengan panen menggunakan combine harvester, jerami sisa panen akan tergilas kembali ke lahan. Ini membantu kembali limbah pertanian ke lahan,” kata Joko.

Reporter : Julian
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018