TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta----Pengembangan benih bioteknologi di Indonesia memang tak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Sempat viral dengan pengembangan kapas transgenik di Sulawesi, tapi kemudian menghilang diterpa isu lingkungan. Tapi kini, upaya mengadopsi benih hasil rekayasa genetik itu kembali dilirik.
Melihat sejarah perjalanan pengembangan benih bioteknologi di Indonesia bukanlah sesuatu yang singkat. Bahkan perjalanan bioteknologi di Indonesia bukan tanpa tantangan. Masih banyak masyarakat yang skeptis terhadap produk rekayasa genetik (PRG), terutama karena mitos dan informasi keliru yang beredar luas.
“Masyarakat kita masih sering termakan oleh mitos," kata pakar bioteknologi dari IPB University, Prof. Antonius Suwanto webinar Percepatan Benih Bioteknologi untuk Mendukung Kemandirian Pangan yang diselenggarkan Tabloid Sinar Tani di Jakarta, Rabu (6/11).
Padahal, menurut Antonius, sejumlah penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika Serikat (EPA) telah menyatakan bahwa produk bioteknologi aman untuk dikonsumsi.
Di Indonesia sendiri, regulasi mengenai keamanan PRG telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati untuk Produk Rekayasa Genetika, yang memastikan keamanan produk ini untuk pangan, pakan, maupun lingkungan.
Karena itu, Antonius yakin, pangan PRG aman bagi manusia. "Tanaman dan benih hasil bioteknologi aman dikonsumsi. Keamanan bioteknologi sudah dikaji oleh berbagai lembaga riset dan kesehatan dunia, jadi kita tidak perlu khawatir," katanya.
Antonius menilai, pengembangan bioteknologi ini sebagai sebuah transformasi, bukan hanya soal meningkatkan produksi, tetapi juga mengembangkan sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Teknologi PRG memungkinkan tanaman untuk bertahan menghadapi cuaca ekstrem, memiliki ketahanan terhadap hama dan menggunakan air serta pupuk lebih efisien.
“Semua ini berarti produktivitas yang lebih baik dengan dampak lingkungan yang lebih kecil,” katanya. Untuk itu, ia berharap dengan keterbukaan pemerintah terhadap pengembangan inovasi bioteknologi, seperti budidaya tanaman dan benih PRG, Indonesia memiliki peluang besar untuk menyusul negara-negara lain yang lebih dulu memanfaatkan teknologi ini, seperti Filipina.
Di Filipina, benih-benih bioteknologi sudah diakses petani dan produk panennya juga dikonsumsi masyarakat. Proses riset yang panjang dan regulasi yang kompleks memang menjadi tantangan tersendiri. Namun Antonius optimis dengan dukungan pemerintah dan pemahaman masyarakat yang lebih baik, adopsi teknologi ini di Indonesia hanya soal waktu.
Dengan bioteknologi, laju produksi pangan tidak hanya dipercepat, tetapi juga lebih tahan lama dan berkelanjutan. Indonesia bisa menjadi negara yang mandiri dalam hal pangan, mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan bahkan memiliki kapasitas untuk ekspor.
Antonius mengatakan, keuntungan dari teknologi ini nyata dan dapat dirasakan langsung oleh petani. Namun, masyarakat perlu terbuka terhadap inovasi dan mengesampingkan mitos yang tidak berdasar. "Jika kita lebih terbuka terhadap teknologi, tentu masa depan pangan nasional bisa lebih terjamin," katanya.
Pengembangan bioteknologi harus mendapat dukungan regulasi. Baca halaman selanjutnya.