Peternak ayam
TABLOIDSINARTANI.COM, Jalarta---Peternak unggas rakyat kembali mengeluhkan harga ayam yang kerap turun, sehingga merugikan mereka. Salah satu tuntutan peternak adalah perusahaan yang terintegrasi tidak boleh masuk ke pasar tradisional
Namun demikian, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita mengatakan bahwa hal ini (turunnya harga ayam) tidak akan terjadi apabila data yang diberikan peternak ke pemerintah sesuai. Sebab, berdasarkan hasil penelusuran Satgas Pangan, ternyata ketika di cek di lapangan, datanya tidak sama dengan lapor dalam online.
“Peternak harus melaporkan data pada kami dengan kenyataan yang ada. Jadi ketika data yan mereka berikan ke kita via online, begitu dicek lapangan sesuai, itu akan memudahkan kinerja pemerintah untuk memberikan keputusan. Jadi saya mohon kepada peternak, berilaha data yang sesuai dan pasti,” kata Ketut di Jakarta menanggapi keluhan peternak rakyat.
Dengan memberikan data yang akurat, menurut Ketut, tentu akan berimbas juga ke arah persediaan. Apalagi saat ini produksi daging ayam broiler surplus 7,29 persen. JIka dihitung-hitung, maka ideal untuk seluruh rakyat Indonesia karena konsumsi protein di Indonesia masih dikatakan rendah.
“Persediaan ini kami simpan di lemari pendingin. Akan dikeluarkan sebagai cadangan pangan. Dengan data yang akurat masuk ke kita, tentu persediaannya mungkin akan lebih dan tentu ketika terjadi sesuatu yang harus mengeluarkan cadangan pangan, kita tidak akan khawatir,” tutur Ketut.
Saat ini Ketut mengakui, memang harga ayam di peternak masih di bawah HPP (harga patokan pemerintah) yakni Rp 17.500/kg berat hidup (liverbird). HPP-nya saat ini Rp 18 ribu-20 ribu/kg berat hidup.
Namun demikian menurutnya, hHarga saat ini sudah cukup meningkat dari yang sebelumnya. “Kami usahakan agar peternak dapat sesuai dengan HPP, karena harga tersebut merupakan harga yang ideal di tingkat peternak,” ujar Ketut.
Telur Bertunas
Mengenai permintaan peternak agar perusahaan integrasi tidak menjual telur bertunas (hatching egg) untuk konsumsi, Ketut mengatakan, bahwa telur itu ada dua jenis yakni telur yang belum bertunas dan telur bertunas. Telur yang belum bertunas ini merupakan telur yang belum pernah sama sekali masuk mesin tetas, sehingga agar tidak terjadi oversupply ayam broiler, dibagikan ke masyarakat yang membutuhkan untuk dikonsumsi.
Namun Ketut mengakui, ternyata di lapangan terjadi kebocoran dan menganggu peternak layer. Makanya sekarang telur bertunas beserta PS (parent stock) dipotong agar tidak terjadi kelebihan pasokan. Sedangkan dalam jangka panjangnya untuk impor hanya GPS (grand parent stock). “Untuk GGPS saya larang, kecuali untuk penelitian,” tegasnya.
Seperti diketahui, pekan lalu peternak rakyat meminta bantuan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan. Beberapa tuntutan peternak ayam layer adalah agar perusahaan integrasi yang masuk budidaya farm layer, tidak boleh menjual di pasar tradisional serta membangun industri tepung telur dan pengolahan telur lainnya.
Selain itu, mendorong pembentukan koperasi skala nasional sebagai wadah peternak rakyat. Tuntuan lainnya adalah menindak tegas terhadap perusahaan integrasi yang menjual telur bertunas HE (hatching egg ) sebagai telur konsumsi.
Sedangkan tuntutan peternak ayam broiler adalah perusahaan integrasi dan afiliasinya dilarang menjual ayam hidup ke pasar becek, perusahaan integrasi dan afiliasinya wajib memotong 100 persen ayam produksinya di RPA dan menjualnya ke pasar modern. Bagi perusahaan yang tidak dapat melakukan, wajib diberikan sanksi berupa penutupan perusahaan.
Selain itu perusahaan dan peternak yang memiliki populasi chick in 300 ribu per minggu, wajib memiliki RPA dengan kapasitas potong minimal 50 persen dari produksi. Tututan lainnya, perusahaan integrasi wajib melakukan penjualan dan pengembangan pasar ekspor.