Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan belakangan ini aktif mendatangi pimpinan perusahaan penggemukan sapi (feedlotter) untuk mendapatkan informasi langsung terkait kegiatan pengadaan daging di dalam negeri, sekaligus menyimak permasalahan yang dijumpai di lapangan.
Kunjungan ke lokasi feedlotter di kawasan Tangerang Provinsi Banten dan Cileungsi Provinsi Jabar dilakukan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Muladno di detik-detik terakhir menjelang hari H Idul Fitri 1436 H di Kawasan Tangerang Provinsi Banten.
Menempati areal lebih dari 50 hektar, di lokasi farm Tanjung Burung milik PT. Tanjung Unggul Mandiri (TUM) di Desa Kedung Genteng Tangerang itu terlihat deretan kandang kosong. Menurut Direktur PT. TUM, Sanko Hasan, saat ini dari total kapasitas kandang yang mencapai 43.238 ekor, hanya diisi sekitar 20 ribu ekor sapi jenis Brahman Cross. “Kandang kami memang hanya setengahnya yang terisi karena izin impor sapi yang dikeluarkan dari pemerintah juga tidak banyak,” katanya.
Untuk bulan puasa dan lebaran tahun ini, menurut Sanko, TUM pada bulan Juni 2015 merealisasikan penjualan sebanyak 9.891 ekor dan pada Juli hingga tanggal 13 realisasinya mencapai 9.786 ekor. Wilayah pemasarannya di samping ke Jabodetabek juga ke Bandung, Cirebon dan Kuningan.
Sanko mengatakan, pihaknya belakangan sangat prihatin dengan langkah pemerintah yang terus mengurangi besaran kuota impor sapi bakalan. Penetapan besaran izin impor yang setiap tahun dibagi dalam tiga termin dan jumlahnya tidak tentu itu sangat menyulitkan dalam proses perencanaan dan operasional kegiatan importasi sapi.
“Seperti kami ini telah mengajukan izin impor sebanyak 30 ribu ekor, tapi untuk periode Juli-September 2015 nyatanya hanya mendapatkan izin impor 7.000 ekor. Peternak Australia yang menjadi langganan kami menjadi resah karena mereka tentu persiapannya sudah untuk lebih dari 7.000 ekor,” tuturnya.
Rugi Besar
Untuk triwulan tiga biasanya izin impor keluar di akhir bulan Juni, tetapi tahun ini izin baru keluar pada Juli. Keterlambatan keluarnya izin impor jelas juga merugikan para peternak Australia karena untuk persiapan impor mereka sudah banyak mengeluarkan biaya seperti untuk biaya sewa dermaga, kegiatan karantina, vaksinasi. “Mereka mengeluh sudah menderita rugi besar, kepercayaan kepada kami selaku pembeli juga menjadi berkurang,” kata Sanko.
Penurunan drastis jumlah impor sapi dari sekitar 24 ribu ekor di triwulan dua menjadi hanya 7.500 ekor di triwulan tiga praktis membuat omset penjualan TUM juga menurun yang diperkirakan penurunannya bisa mencapai 50 persen. “Dengan demikian otomatis kami mengurangi jumlah tenaga anak kandang. Untuk bulan ini saja kami sudah memberhentikan 37 orang tenaga kerja. Mungkin bulan depan kami kurangi lagi 50 orang,” ujarnya.
Senada dengan Sanko, Direktur Utama PT. Agrisatwa Jaya Kencana, Hafid Wahyu, ketika dijumpai di lokasi Rumah Potong Hewan (RPH) milik perusahaan di kawasan Desa Legok, Tangerang, juga berharap pemerintah bisa memberikan kepastian dalam hal pemberian izin impor sapi bakalan. Gambaran besaran izin impor hendaknya sudah dikeluarkan sekaligus dalam jangka waktu satu tahun walaupun kegiatan importasinya sendiri dilakukan tetap dalam tiga termin seperti biasanya.
Sebagai pengelola “pabrik daging”, menurut Hafid, bahan baku utama dari usahanya adalah sapi bakalan. Karena itu, ketidaklancaran pemasukan sapi bakalan akibat keterlambatan keluarnya izin impor atau penurunan perolehan besaran jumlah sapi yang boleh diimpor jelas akan mempengaruhi kelancaran aktivitas perusahaan.
Ia menekankan, sekarang ini feedlotter bukan hanya terkendala pada ketidakpastian jumlah kuota impor tetapi juga harga sapi bakalan yang terus naik di pasaran menyusul terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Sapi-sapi lokal yang diharapkan oleh pemerintah bisa diserap oleh feedlotter kenyataannya sulit diperoleh, kalaupun tersedia harganya sudah sangat tinggi. “Kami dulu banyak mendapat sapi bakalan dari Jawa Timur dan sedikit dari Jawa Tengah. Tapi saat ini sudah benar-benar sulit mendapatkannya lagi,” tuturnya sambil menambahkan bahwa Agrisatwa untuk triwulan tiga 2015 hanya mendapatkan kuota impor sekitar 2.000 ekor.
Dirjen PKH, Muladno, menyatakan memperhatikan apa yang menjadi keluhan pimpinan feedlotter tersebut. Pada intinya ia menekankan bahwa saat ini memang pengadaan sapi bakalan belum bisa dilepaskan dari kegiatan impor, karena jika dipaksakan mengandalkan pada keberadaan sapi lokal maka yang dikhawatirkan akan terjadi pengurasan jumlah sapi lokal di tanah air.
Terkait izin impor sapi bakalan, ia melihat penting adanya data yang akurat mengenai jumlah produksi sapi bakalan di dalam negeri. Karena itu ke depan pihaknya akan menggiatkan inventarisasi menyangkut produksi bakalan di tanah air sambil mengupayakan agar pemuliaan ternak sapi potong di tingkat peternak terus berkembang. “Peternak perlu ditingkatkan pengetahuannya untuk bisa menghasilkan sapi bakalan yang berkualitas. Dan itu bisa dilakukan melalui kegiatan Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang tengah kami galakkan,” tegasnya yang pada kesempatan kunjungan ke feedlotter didampingi Komisaris Utama Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Rachmat Pambudy. Ira
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto