TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- Dituduh tak memenuhi standar, peternak ini justru membuktikan kualitas susu mereka melebihi SNI. Dengan bukti laboratorium, mereka tunjukkan bahwa produk mereka layak dan berkualitas tinggi.
Bayu Aji Handayanto, peternak sekaligus pengepul susu, dengan tegas membantah tuduhan bahwa susu lokal tak memenuhi standar.
Menurutnya, kualitas susu dari peternak lokal sudah melampaui SNI, meskipun masih kalah bersaing dengan susu impor yang sering kali memiliki kualitas lebih tinggi.
"Susu yang kami kirimkan lebih baik dari SNI, tapi dibandingkan dengan susu impor, kami memang belum bisa bersaing," ungkap Bayu di Kantor Kementerian Pertanian.
Meskipun susu lokal memiliki total solid yang lebih tinggi, sekitar 12,5 hingga 12,8, susu impor sering kali mencapai angka di atas 13.
Namun, masalah utama yang dihadapi peternak lokal adalah penolakan dari industri pengolahan susu, yang kerap disebabkan oleh perbedaan kualitas ini.
Bayu juga menambahkan bahwa peternak lokal, khususnya di daerah, masih membutuhkan pendampingan dan pembinaan dari industri pengolahan susu untuk meningkatkan kualitas lebih lanjut.
Meski demikian, ia berharap agar industri susu dalam negeri bisa lebih menghargai produk susu lokal yang telah menunjukkan kualitas tinggi.
Sejak Oktober 2023, penolakan terhadap susu lokal sempat memanas, namun setelah mereda pada Januari 2024, isu ini kembali muncul pada akhir September.
Meski begitu, Bayu merasa lega karena pasokan susu dari peternak sapi dalam negeri kembali lancar.
"Masalah ini sempat memanas sejak Oktober 2023, mereda di Januari, tapi kembali muncul lagi pada September. Sekarang, sudah mulai lancar," ujarnya dengan penuh rasa lega.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia, Agus Warsito.
Ia menjelaskan bahwa anomali pasokan di pabrikan menjadi salah satu alasan mengapa banyak susu lokal yang terbuang.
Agus mengungkapkan bahwa meskipun susu segar lokal hanya berkontribusi sekitar 18 persen dari kebutuhan susu segar nasional, produksi lokal seharusnya bisa diserap sepenuhnya oleh pabrikan.
"Produksi susu di Blitar, Tulungagung, Salatiga, Pasuruan, dan Semarang banyak yang terpaksa dibuang," ujar Agus, kecewa melihat susu yang terbuang sia-sia.
Ia menambahkan, masa simpan susu segar yang terbatas membuat pabrikan hanya bisa menyerapnya dalam waktu singkat.
Meskipun produksi susu perah pada paruh kedua tahun ini stabil, pabrikan justru mengurangi serapan mereka sejak kuartal ketiga.
Agus juga mencatat bahwa pada 2020, produksi susu segar Indonesia mencapai 968.980 ton, sementara kebutuhan susu segar nasional mencapai 4,4 juta ton.
Agus menyarankan agar pabrikan lebih banyak menyerap susu segar lokal, dan tidak terus bergantung pada impor susu.
"Peningkatan impor ini mungkin terkait dengan program Minum Susu Gratis yang akan digalakkan tahun depan," tambah Agus.
Ia menegaskan, pemerintah harus bertindak tegas untuk memastikan pabrikan lebih banyak menyerap susu segar dalam negeri, agar peternak lokal bisa lebih sejahtera.