Hewan ternak yang berkeliaran bisa merusak tanaman pertanian. Selain itu, lahannya menjadi terlantar, karena petani enggan budidaya di wilayah yang banyak ternak berkeliaran.
Ternak yang berkeliaran makan tumbuhan apa saja yang mereka temukan mulai daun jagung, kacang tanah, lamtoro, nangka, rumput dan tanaman lainnya. Ternak yang berkeliaran ini merupakan “Varietas Invasif” mereka merupakan hama tanaman yang rakus dan kelaparan lebih berbahaya dibandingkan hama tikus. Para petanipun tidak ada yang bertanam padi, jagung, kacang tanah, bahkan pohon pisang dan pepaya.
Pemandangan seperti itu bisa ditemui di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Lahan padang penggembalaan itu di antaranya memiliki potensi untuk ditanami padi, kacang tanah, jagung, pisang dan tanaman lainnya. Terlebih bila dikembangkan sistem pengembangan pembangunan bagi hewan ternak. Berikut ini beberapa teknik yang bisa dikembangkan untuk ‘menjinakkan’ ternak. Teknik ini dapat dimassalkan oleh institusi penelitian dan penyuluhan yang sudah dibangun oleh pemerintah di NTT.
Pertama, mengembangkan sistem kandang bersama dengan hijauan pakan seperti king grass, rumput gajah, ketela pohon dan ketela rambat.
Kedua, pengembangan sistem penjara ternak model Bone. Dalam model ini, ada petugas pertahanan sipil (Hansip) desa yang ditugasi untuk menangkap ternak yang berkeliaran dan dimasukkan ke penjara ternak.
Dengan dikembangkannya pemeliharaan sistem kandang dan penjara ternak seperti ini maka petani yang akan menanam tanaman pangan tidak lagi takut dan tidak perlu membuat pagar yang mahal dan sulit. Ternak yang berkeliaran akan ditangkap petugas, lalu dimasukkan ke penjara ternak. Ternak bisa dikeluarkan apabila ditebus oleh pemiliknya. Harga tebusan per hari untuk setiap ternak bervariasi, untuk kambing Rp. 50.000/hari, untuk sapi Rp. 150.000/hari dan untuk babi Rp. 50.000/hari.
Apabila setelah 3 hari ternak baru ditebus, untuk kambing dan babi tebusannya sebesar Rp. 150.000/ekor dan untuk sapi Rp.450.000/ ekor. Dan apabila setelah 1 minggu lamanya ternak tersebut tidak ditebus oleh pemiliknya, maka ternak tersebut bisa dipotong dan dagingnya dibagikan pada penduduk kampung.
Ketiga, pengembangan ternak dengan sistem bergulir model “Sumba Kontrak”. Pada zaman penjajahan Belanda, pengembangan peternakan menggunakan sistem bergulir model “sumba kontrak”. Ternak yang diberikan oleh pemerintah berupa ternak sapi, kambing, babi dan ayam.
Dengan pengembangan ternak sistem bergulir model “Sumba Kontrak” pemerintah memberikan bantuan 40.000 ekor sapi, setelah 9 tahun jumlahnya menjadi 100.000 ekor.
Agar ternak bantuan bergulir ini dapat bergulir terus, ternak tidak boleh dijual atau dipotong. Harus ada perjanjian antara Pemerintah/Dinas Peternakan dengan penerima ternak bantuan disaksikan Camat dan Lurah.
Pemberdayaan Masyarakat
Banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian masyarakat TTS Nusa Tenggara Timur. Di antaranya adalah membangun Sekolah Peternakan untuk menghasilkan Tenaga Teknisi Menengah Di Bidang Peternakan. Juga dibangun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT pengembangan dari Balai Informasi Pertanian.
Di tingkat kecamatan dibangun Balai Penyuluhan Kecamatan, lahan percontohan, pembuatan embung dan saluran air irigasi, serta pemberdayaan kelompok tani. Semua ini dilakukan pemerintah agar masyarakat NTT bisa lebih maju dan sejahtera. Soemitro Arintadisastra/Som
Editor : Julianto