Jakarta - Pengamat pertanian, Khudori, mendesak pemerintah segera mengevaluasi kuota impor serta potensi sapi domestik. "Jangan-jangan ada kesalahan di sana," katanya, saat dihubungi
Tempo, Senin, 8 April 2013.
Ia berpendapat jika kenaikan harga daging sapi hanya berlangsung selama satu hingga dua bulan, hal tersebut masih dalam taraf wajar. Namun, bila kenaikan harga sudah melebihi enam bulan, diduga ada masalah pada pasokan. Pemerintah, kata Khudori, sebaiknya tidak berpatokan pada sensus peternakan 2011 yang mencatat jumlah sapi nasional sebanyak 14,82 juta ekor.
"Pemerintah itu jangan menerjemahkan bahwa setiap tahun Indonesia punya 3 juta ekor sapi yang siap potong," ucapnya. Kalaupun ada, ia menyebut sapi-sapi tersebut merupakan hewan peliharaan keluarga yang menjadi dana cadangan, bukan untuk dipotong.
Menurut Khudori, peternak tradisional di berbagai daerah Indonesia memelihara dua sampai empat ekor sapi sebagai tabungan, yang hanya akan dijual ketika dibutuhkan. Misalnya, saat keluarga membutuhkan biaya pendidikan anak. Jadi, meski harga sedang melambung, keluarga-keluarga peternak itu tidak akan menjual sapi yang dimiliki jika tidak diperlukan.
Ia pun menyarankan Kementerian Pertanian untuk melakukan evaluasi bersama dengan Kementerian Perindustrian dan asosiasi untuk menghitung ulang potensi domestik sapi. "Karena di situasi normal, harga kan hanya naik waktu menjelang Lebaran dan Idul Adha, setelah itu turun," ujarnya.
Khudori menduga adanya semacam peraturan Menteri Pertanian yang dibuat untuk mencapai swasembada daging, menyusul maraknya pemotongan sapi betina produktif. "Kalau pemerintah sifatnya pragmatis seperti itu untuk memenuhi kebutuhan, sebaiknya dipikirkan kembali," kata Khudori.
MARIA YUNIAR