TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian memastikan bahwa saat ini masih memerlukan impor sapi betina indukan untuk meningkatkan populasi sapi di dalam negeri. Impor sapi betina indukan ini menjadi salah satu mesin pengendali pemotongan sapi betina produktif.
Demikian diungkapkan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Drh. I Ketut Diarmita saat Bincang Asik Pertanian Indonesia (Bakpia) di Jakarta, Selasa (8/1). Dalam acara tersebut juga hadir Kepala Dinas Peternakan Provinsi Aceh, Rahmandi Msi dan General Manager Ekspor PT Prima Food Indonesia, Jessica.
“Bagaimana mempercepat terjadinya penambahan populasi sapi. Salah satu jalan adalah dengan menambah sapi indukan. Jadi bukan memindahkan dari provinsi ke provinsi lain. Jadi tahun lalu, kita programkan memasukan sapi indukan sebanyak 6 ribu ekor,” katanya.
Menurut Ketut, dalam upaya pemerintah meningkatkan populasi sapi di dalam negeri, pemerintah telah memprogram kan Upaya Khusus Sapi Wajib Bunting (Upsus Siwab) dan mengimpor sapi indukan. Kedua cara itu menjadi mesin pengendali pemotongan sapi betina produktif yang selama ini tidak terkendali.
“Sekarang ini pemotongan sapi betina produksi sudah bisa kita kendalikan. Karena pemotongan sapi betina produktif akan menghambat upaya peningkatan populasi. Jadi perlu mendapatkan perhatian sebaik-baiknya,” tuturnya.
Namun Ketut mengakui kecewa salah satu UPT peternakan di Maros yang mendapat tanggung jawab untuk mengimpor sapi indukan tidak bisa merealisasikan, padahal jumlahnya cukup besar yakni 3.300 ekor. “Proses impor sapi indukan semua sudah melalui proses yang berlaku, terkait wanprestasi akan kami proses lebih lanjut. Balai di Maros harus mempertanggungjawabkan impor sapi indukan 3.300 ekor yang tidak terelisasi,” tegasnya.
Dengan tidak terealisasinya impor sapi indukan tersebut, Ketut mengakui, sangat berpengaruh terhadap program pemerintah untuk meningkatkan populasi sapi. Sebab, pemerintah sudah memprogramkan, misalnya, kelompok ternak yang akan menerima bantuan sapi indukan tersebut sudah diminta untuk menanam rumput untuk pakan hijauan. “Kami sudah minta peternak untuk menanam rumput, mereka sekarang sudah menanam rumput, tapi sekarang sapinya tidak dating,” sesalnya.
Terhadap pimpinan UPT peternakan di Maros dan pihak ketiga yang menjadi importir sapi indukan, Ketut mengatakan, pihaknya akan mengembelikan sesuai dengan perjanjian kontrak yang telah disepakati. “Kita akan mengambil tindakan sesuai kontrak yang berlaku. Untuk Kepala Balai Maros, kita tidak akan pecat, tapi jabatannya kami akan lelang,” tegasnya.
Catatan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, pada tahun 2015 dan 2016 impor sapi indukan sebanyak 6.323 ekor yang didistribusikan ke Kalimantan Timur, Aceh, Sumatera Utara dan Riau. Berdasarkan hasil monitoring pada Nopember 2018, indukan impor yang dipelihara kelompok peternak telah berkembang menjadi sebanyak 7.439 ekor atau mengalami pertumbuhan sebesar 17,65% karena bertambah 1.116 ekor dari jumlah awal. Bahkan dalam waktu dekat ternak tersebut kemungkinan akan bertambah lagi karena ada 560 ekor dalam keadaan bunting.
Sedangkan pada tahun 2018 ada lagi impor sapi indukan impor sebanyak 2.065 ekor. Spai itu telah didistribusikan ke 115 kelompok peternak dan 8 UPTD yang tersebar di 14 provinsi. Diantaranya, Lampung, Bangka Belitung, Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Ketut berharap dengan penambahan indukan sapi impor ini terjadi peningkatan kontirbusi produksi daging sapi dalam negeri dan bertambahnya usaha sapi berskala usaha komersil di tingkat peternak. Dengan demikian, populasi secara nasional akan bertambah, sekaligus bertambah sumber input produksi sebagai investasi yang menjadi pondasi menuju swasembada daging sapi yang dicanangkan tercapai di tahun 2023.