Kebutuhan aneka jenis produk imbuhan pakan (feed additive) di dalam negeri dan di pasar dunia terpantau meningkat seiring dengan terus tumbuhnya industri pakan sebagai pendukung aktivitas usaha bisnis peternakan.
Meski permintaan pasarnya tumbuh pesat, namun sejauh ini masih saja tak banyak pengusaha lokal yang menggeluti usaha memproduksi feed additive. Akibatnya, ketergantungan terhadap produk feed additive impor masih besar.
“Masih banyak kendala yang menghadang, sehingga pengusaha kita tak banyak yang terjun di usaha memproduksi feed additive,” kata peneliti senior Balai Penelitian Ternak Badan Litbang Pertanian Kementan, Budi Tangendjaja, dalam Seminar Nasional Feed Additive yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), di Jakarta, pekan lalu (07/05).
Produk feed additive, menurut Budi, selama ini umum dicampurkan di dalam ransum pakan ternak oleh pabrik pakan karena memang fungsinya cukup penting. Antara lain bisa mencegah ternak dari serangan penyakit tertentu.
Prospek pasar produk feed additive, sangat menjanjikan karena pada tahun 2012 saja tercatat market valuenya di tingkat dunia mencapai sekitar 16 miliar dolar AS dan para analis memperkirakan di tahun 2018 bisa mencapai lebih dari 20 miliar dolar AS. Untuk sektor perunggasan market sharenya mencapai lebih dari 40 persen.
Permintaan feed additive belakangan sangat tinggi di negara-negara kawasan Asia terutama untuk produk asam amino, vitamin dan enzim. Sedangkan permintaan antibiotik cenderung turun seiring dengan pembatasan penggunaan antibiotik oleh perusahaan-perusahaan peternakan. “Karena memang konsumen dunia makin selektif, mereka menuntut antibiotik yang digunakan tidak menimbulkan residu di dalam produk peternakan yang dihasilkan,” jelasnya.
Bahan Baku Lokal
Budi yang juga pakar nutrisi ternak itu menekankan, bahwa sesungguhnya Indonesia kaya akan berbagai jenis bahan baku yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan feed additive. Fosfor yang diperlukan untuk campuran pakan pada dasarnya dibuat dari bahan dasar batuan fosfat. “Batuan fosfat itu banyak terdapat di berbagai wilayah di Indonesia seperti di Cianjur dan Sukabumi,” ujarnya.
Balitnak sendiri sudah lama melakukan penelitian untuk bisa menghasilkan obat koksi dari buah lerak, yang di daerah Jawa Tengah biasa digunakan untuk sarana pencuci perhiasan emas. Hasilnya luar biasa, karena ternyata kandungan saponin penangkal koksi di dalam buah lerak sangat tinggi dan kualitasnya baik.
“Dalam skala laboratorium memang prospek buah lerak ini baik, tapi di lapangan pohon lerak ini sangat sulit dijumpai. Kalaupun ada, penanamannya masih dalam skala terbatas di pekarangan rumah tangga,” tandas Budi.
Faktor ketersediaan bahan baku lokal yang tidak mencukupi secara kuantitas serta tak bisa dijamin keberlanjutannya selama ini menjadi kendala mengapa tak banyak perusahaan lokal yang menekuni usaha memproduksi feed additive.
Sebagai gambaran disebutkan, PT. CJ Feed Indonesia yang telah memproduksi lisin dari bahan baku tetes tebu belakangan sulit mendapatkan bahan baku tersebut sampai akhirnya untuk menutupi kekurangan digunakan bahan baku molasses yang diambil dari singkong. “Karena kebutuhan tetes terus naik, terakhir perusahaan juga harus mengimpor singkong karena dari dalam negeri tidak bisa terpenuhi,” tandas Budi. Ira
Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066
Editor : Julianto