TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- Makin banyak susu impor di pasar Indonesia bikin persaingan sengit. Ternyata, ada beberapa faktor utama yang jadi biang keladinya.
Indonesia telah lama bergantung pada susu impor, dan ketergantungan ini semakin meningkat seiring waktu.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi susu lokal hanya mencakup 20?ri kebutuhan nasional yang mencapai 4,4 juta ton.
Sisanya, sekitar 80%, harus dipenuhi dari impor, terutama dari negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Agus Warsito, Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), menjelaskan bahwa salah satu faktor utama di balik melonjaknya impor adalah kualitas sapi perah lokal yang terus menurun.
Situasi ini mengakibatkan para peternak kesulitan memenuhi standar industri, membuat produk lokal kurang kompetitif di pasaran.
Selain itu, infrastruktur dan dukungan teknologi bagi peternak lokal masih sangat terbatas.
Hal ini membuat produktivitas mereka tertinggal jauh dibandingkan dengan produsen susu di negara-negara pengekspor.
Tidak hanya itu, biaya pakan dan pemeliharaan yang tinggi semakin menekan margin keuntungan peternak lokal, memaksa mereka bergantung pada harga susu yang tidak stabil.
Dampak dari ketergantungan ini dirasakan langsung oleh peternak lokal yang sulit bersaing dengan harga susu impor yang lebih murah.
Dalam dua dekade terakhir, kualitas sapi perah Indonesia mengalami penurunan drastis, terbukti dari produktivitas yang anjlok, dari 25 liter per ekor per hari pada tahun 1992 menjadi hanya 12 liter di tahun 2024.
Sementara itu, negara-negara lain seperti Australia dan Selandia Baru mampu menghasilkan hingga 32 liter per ekor per hari.
Agus Warsito, Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), mengungkapkan bahwa pola pemuliaan sapi perah di Indonesia kurang memadai, dengan masalah utama adalah maraknya perkawinan sedarah (inbreeding).
Hal ini mengakibatkan kualitas sapi lokal menurun drastis, membuat produktivitas susu tak mampu bersaing dengan negara lain.
Ketidakadaan proteksi pemerintah juga semakin menekan peternak lokal. Impor susu dalam bentuk skim atau bubuk, yang dijual dengan harga murah, menjadi ancaman besar bagi mereka.
“Kalau impor susu cair, kita tidak masalah bersaing secara fair. Tapi susu skim ini beda cerita; harganya jauh lebih murah karena prosesnya yang ultra-pemanasan, meski kualitas nutrisinya berkurang,” tegas Agus, yang juga memimpin Koperasi Susu Andini Luhur di Semarang.
Dampak susu skim murah ini memukul harga susu segar lokal, yang hanya dihargai Rp 7.000 per liter—jauh dari harga ideal Rp 9.000.
Kondisi ini membuat banyak peternak merugi, bahkan sebagian terpaksa mencari pekerjaan lain.
Agus pun mengingatkan bahwa jika kondisi ini dibiarkan, industri sapi perah lokal bisa punah dalam 25 tahun mendatang.
Populasi sapi perah juga mengalami stagnansi.
Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, populasi sapi perah di Indonesia hanya bertambah sedikit dalam dua tahun, dari 584.582 ekor pada 2020 menjadi 592.897 ekor pada 2022.
Jika tidak ada langkah nyata, masa depan industri sapi perah dalam negeri akan semakin terpuruk, dan ketergantungan pada impor makin mengancam ketahanan pangan nasional.