Minggu, 23 Maret 2025


Harga Gabah Hancur! Musim Hujan Jadi Biang Kerok, Ini Solusi dari HKTI

02 Peb 2025, 13:48 WIBEditor : Gesha

?Harga gabah dan jagung dipastikan naik drastis! Pemerintah akan menyerap seluruh hasil produksi petani sesuai harga baru, meski jumlahnya belum pasti, setelah keputusan rapat kabinet di Istana.

TABLOIDSINARTANI.COM -- Harga gabah anjlok di bawah HPP! Musim hujan bikin kualitas panen jeblok, petani merugi besar. Apa penyebabnya? Bagaimana solusi dari HKTI? Simak langkah-langkah penyelamatan harga gabah di sini!

Harga beras di pasaran turun menjadi Rp12.000 per kilogram, tetapi petani justru menghadapi dilema besar. Harga gabah mereka merosot hingga di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP), yaitu Rp6.500 per kilogram.

Apa yang menyebabkan ketimpangan ini? Mengapa petani yang seharusnya diuntungkan dengan harga beras stabil malah mengalami kerugian?

Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Mulyono Machmur mengatakan musim hujan menjadi penyebab utama anjloknya harga gabah.

“Kualitas gabah menurun karena kadar airnya tinggi. Bahkan, ada juga yang kebanjiran, sehingga banyak padi dipanen dalam kondisi belum matang sempurna,” jelasnya.

Selain itu, minimnya sinar matahari memperlambat proses pematangan padi.

Alhasil, banyak petani yang tidak sabar akhirnya memanen padinya meskipun masih banyak bulir hijaunya.

Gabah seperti ini kurang diminati pembeli, karena jika diproses menjadi beras, hasilnya akan lebih rendah dan mutunya tidak optimal.

“Konsumen tidak mau rugi. Dengan HPP Rp6.500, mereka masih mempertimbangkan kualitas gabah. Ada aturan soal tabel refraksi yang mengatur bulir hijau, bulir hampa, dan sebagainya,” kata Mulyono.

Masalah bertambah dengan perubahan kebijakan yang membingungkan. Awalnya, SK Kepala Badan Pangan No. 2 Tahun 2025 menetapkan pembelian gabah harus memperhitungkan kualitas.

Namun, 12 hari kemudian, aturan ini diubah dengan SK No. 14 Tahun 2025, yang menghapus aturan kualitas dalam pembelian gabah. Kini, gabah tetap dibeli dengan harga HPP, apa pun kondisinya.

Bulog memang tetap membeli beras di gudangnya dengan harga Rp12.000 per kilogram, tetapi dengan standar kualitas yang ketat.

“Derajat sosok minimal 100 persen, kadar air maksimal 14 persen, butir patah 25 persen, dan menir 2 persen,” ungkap Mulyono.

Namun, standar ketat ini menimbulkan dilema lain. Banyak pengusaha penggilingan padi (Rice Milling Unit/RMU) protes dan meminta standar diturunkan ke 95 persen agar target pembelian 3 juta ton beras hingga April bisa tercapai.

Selain itu, Bulog tidak bisa sembarangan membeli gabah berkadar air tinggi. “Gabah dengan kadar air di atas 30 persen mudah menguning dan bahkan bisa tumbuh jamur. Sayangnya, dryer (alat pengering) masih minim. Petani masih mengandalkan pengeringan matahari, padahal cuaca mendung terus,” kata Mulyono.

Ketiadaan dryer ini membuat penggilingan kecil kesulitan. Dryer yang tersedia pun memiliki keterbatasan.

“Dryer vertikal misalnya, hanya efektif untuk gabah dengan kadar air di bawah 30 persen. Kalau lebih dari itu, tetap berat menjalankannya,” tambahnya.

Solusi 

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional No. 1425, yang mewajibkan Bulog membeli gabah petani dengan harga HPP Rp6.500 tanpa memperhitungkan kualitasnya.

Namun, apakah harga ini cukup bagi petani? Keinginan petani tentu harga gabah lebih tinggi. Namun, jika harga naik terlalu tinggi, harga beras juga pasti naik.

Sementara, pemerintah telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per kilogram untuk beras premium dan Rp12.000 per kilogram untuk beras medium.

“HPP ini sudah beberapa kali naik, dari Rp4.300 ke Rp5.200, lalu sekarang Rp6.500. Tapi setiap daerah punya kondisi berbeda, jadi perlu kebijakan fleksibel agar petani tetap untung tanpa membebani konsumen,” jelas Mulyono.

Menurutnya, turunnya harga beras tidak selalu menguntungkan masyarakat, karena petani justru dirugikan akibat anjloknya harga gabah.

Diperlukan solusi menyeluruh untuk mengatasi anjloknya harga gabah yang semakin membuat petani terjepit. Salah satu langkah penting adalah penyediaan lebih banyak dryer di daerah pertanian.

Dengan adanya dryer yang memadai, petani tidak perlu lagi bergantung pada cuaca untuk mengeringkan gabah mereka.

Jika pemerintah atau pihak terkait dapat memperluas akses terhadap teknologi pengeringan ini, kualitas gabah bisa tetap terjaga, dan petani tidak lagi dipaksa menjual hasil panennya dengan harga murah.

Selain itu, kebijakan harga yang lebih adil harus segera diterapkan. Harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan seharusnya tidak hanya mempertimbangkan keseimbangan pasar, tetapi juga memperhitungkan biaya produksi yang dikeluarkan petani.

Jika harga gabah terus dibiarkan turun tanpa adanya intervensi yang jelas, petani akan semakin merugi dan kehilangan semangat untuk terus bertani.

Pemerintah harus memastikan bahwa regulasi harga tidak hanya menguntungkan konsumen, tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi petani.

Fasilitas penyaluran gabah juga harus diperluas agar petani tidak hanya bergantung pada Bulog sebagai satu-satunya pembeli utama. Dengan adanya lebih banyak jalur distribusi, petani memiliki lebih banyak pilihan untuk menjual hasil panennya dengan harga yang lebih baik.

Pemerintah dan pihak swasta perlu bekerja sama dalam membuka akses pasar yang lebih luas, termasuk mendukung koperasi petani dan industri penggilingan kecil agar mereka dapat langsung menyerap gabah dari petani tanpa harus melewati tengkulak yang sering kali mempermainkan harga.

Tanpa langkah nyata, petani akan terus berada dalam posisi sulit, terhimpit oleh harga jual yang rendah sementara biaya produksi terus meningkat. Jika dibiarkan berlarut-larut, kondisi ini bukan hanya mengancam kesejahteraan petani, tetapi juga bisa berdampak pada ketahanan pangan nasional.

Harga beras yang stabil bagi masyarakat luas hanya akan menjadi ilusi jika para petani sebagai produsen utama tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.

Reporter : Nattasya
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018