Jumat, 26 April 2024


Pasar Premium Sayuran Dalam Negeri pun Menggiurkan

07 Okt 2019, 11:16 WIBEditor : Yulianto

Produk sayuran di supermarket | Sumber Foto:Julian

engan bendera Okiagaru Farm, Guslee sapaan akrab Agus Ali Nurdin ini menembak pasar restoran dan swalayan khas Jepang

TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Budidaya hortikultura, khususnya sayuran, bagi petani menjadi salah satu usaha yang cukup menjanjikan. Meski biaya produksinya terbilang lebih mahal dari usaha tani pangan, tapi di balik itu semua keuntunganya cukup mengiurkan.

Bahkan beberapa pelaku usaha hortikultura telah menjadi pemain untuk memasok kebutuhan hotel, restoran, katering (Horeka) dan pasar supermarket. Pertumbuhan pasar horeka dan menjamurnya supermarket ikut mengerek pertumbuhan usaha tani hortikultura.

Bagaimana kiat menembus pasar tersebut? Sebuah pelajaran penting bagi petani untuk mengikuti kesuksesan pelaku usaha. Banyak hal yang mesti dilihat petani agar bisa menembus pasar horeka dan ritel.

Satu pelajaran yang bisa didapat dari Agus Ali Nurdin. Dengan bendera Okiagaru Farm, Guslee sapaan akrab Agus Ali Nurdin ini menembak pasar restoran dan swalayan khas Jepang. Jika dahulu gerai yang menyajikan produk asal Negeri Matahari Terbit masih sangat terbatas, maka kini dengan mudah kita menemukan gerai-gerai seperti itu.

Artinya, pasar makin terbuka. Guslee yang merupakan alumni Program Ikatan Magang Jepang (Ikamaja) tahun 2008 pun melirik untuk memasok sayuran organik, ke restoran dan swalayan Jepang. “Saya pilih komoditas sayuran karena permintaannya luar biasa banyak, mengingat maraknya restoran Jepang di dalam negeri,” kata alumni IPB tahun 2012.

Guslee bercerita, restoran besar seperti Yoshinoya dan Sushi Tei kini telah menjadi pelanggannya. Selain itu, dia juga menyuplai sayuran untuk swalayan Cosmo di Jakarta dan Bandung. “Sebenarnya permintaan di luar kota sangat banyak, tapi kami belum bisa memproduksi sesuai permintaan itu,” katanya.

Saat memulai usahanya, Guslee menyewa lahan seluas 1,8 ha di Cianjur dan 4 ha di Cipanas, Jawa Barat. Di lahan itu, ia menanam sekitar 100 jenis sayuran. Sebanyak 50 persen merupakan sayuran asli Jepang, seperti kyuri (timun Jepang), horenzo (bayam Jepang), kabocha (labu Jepang), satsumaimo (ubi Jepang), zucchini dan negi. Sisanya merupakan sayuran lokal, tapi untuk konsumsi di restoran Jepang juga. “Sayuran yang saya jual bukan hanya dari lahannya, tapi dari kerjasama kemitraan dengan petani di Jawa Barat,” katanya.

Akses Pasar

Untuk bisa memasok pasar sayuran Jepang tersebut, Guslee mengatakan bahwa akses pasar adalah faktor utama untuk terjun ke bisnis sayuran Jepang. Sebab, ongkos memproduksi sayuran Jepang tidak murah. Dari pengalamannya, kita harus terlebih dulu mendapatkan pasar, baru memulai produksi yang besarnya disesuaikan dengan permintaan,” ujarnya.

Untuk mendapatkan akses ke pasar sayuran Jepang, Guslee menyarankan untuk bisa mengenal jaringan pengusaha kuliner atau swalayan Jepang. Lantaran pernah ikut program pertukaran petani ke Jepang, ia mengaku sudah memiliki relasi dengan beberapa pemain di bisnis kuliner atau retail yang membutuhkan pasokan sayuran Jepang. 

Dengan adanya permintaan dari pasar, dengan bendera Okiagaru, Guslee bisa menentukan pola tanam. Pasalnya, sayuran Jepang butuh waktu satu bulan hingga tiga bulan untuk panen. Karena itu ia menyarankan bagi pemula yang menggeluti usaha ini supaya bergaul dengan komunitas masyarakat Jepang. 

Strategi ini bertujuan membuka celah untuk menembus pasar. Membangun relasi bisa dimulai dari situ, telusuri akses yang membuat kita bisa mengenal pengusaha yang selanjutnya bisa jadi klien kita,” paparnya.

Satu yang tak boleh dilupakan menurut Guslee adalah  SDM yang berpengalaman di bidang pertanian. Sebab,  jika hanya belajar pertanian secara teori, maka belum tentu menguasai kondisi lapangan. “Kalaupun punya modal dan sudah ada pasar, tapi jika tidak ada ahli pertanian di lapangan, hasilnya tidak akan maksimal. Minimal, ketika merintis usaha produksi sayuran Jepang, harus ada pendamping ahli di bidang pertanian sayuran,” tuturnya.

Saat membuka lahan, Guslee mengaku membutuhkan banyak karyawan hingga 40 orang. Namun, untuk perawatan tanaman sayuran, jumlah karyawan tidak terlalu banyak hanya tiga karyawan per hektar.  Hal penting lainnya menurut Guslee, modal merintis lahan produksi sayuran Jepang juga cukup mahal. Karenanya, kesiapan dana harus diperhatikan.

“Untuk sewa lahan, setidaknya, berlangsung selama tiga tahun dengan minimal lahan tiga ha.” ujarnya itungan sederhana, investasi yang dikeluarkan berkisar Rp 80 juta/ha. Sebanyak 80?ri dana itu untuk membiayai operasional lahan. Sisanya untuk dana cadangan.

Salah satu risiko usaha agribisnis ini adalah panen yang kurang maksimal. Penyebab hasil panen tidak seperti perkiraan, biasanya adalah cuaca yang kurang bersahabat. Namun, menurut Guslee, risiko bertanam sayuran Jepang sebanding dengan risiko bertanam sayuran lainnya.

Reporter : Gsh/TABLOID SINAR TANI
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018