Oleh : Entang Sastraatmadja
TABLOIDSINARTANI.COM - Pilihan hidup untuk menekuni profesi sebagai Penyuluh Pertanian di negeri ini, pada hakekatnya merupakan kebanggaan tersendiri bagi yang menjalaninya. Penyuluh adalah status yang sangat terhormat dan penuh kharisma.
Penyuluh merupakan pekerjaan yang sarat dengan pengabdian dan tanggungjawab. Di nurani seorang penyuluh pasti tertanam keinginan untuk melahirkan petani yang mampu hidup sejahtera dan layak untuk disebut selaku warga negara yang hidup di atas tanah merdeka.
Pada zaman keemasannya, seorang Penyuluh Pertanian adalah salah satu komponen yang pantas disebut "pahlawan swasembada beras". Andil Penyuluh Pertanian bersama para petani yang mampu menorehkan tinta emas di Badan Pangan Dunia (baca : FAO), karena mampu meningkatkan produksi padi hingga dapat berswasembada, tentu saja menjadikan prestasi tersendiri dalam peta bumi pembangunan pertanian kita.
Swasembada Beras yang berhasil kita raih 37 tahun lalu, betul-betul sebuah anugerah yang penting kita syukuri. Saat itu, betapa bangganya kita menyaksikan Presiden Soeharto pidato di hadapan peserta Sidang FAO di Roma, Italia, bicara soal kisah sukses bangsa Indonesia dalam menggenjot produksi padi secara spektakuler. Bangsa yang semula dikenal sebagai importir beras terbesar di dunia, kini mampu berswasembada.
BACA JUGA:
Inilah momentum terbaik dalam pembangunan pertanian bangsa ini. Pemerintah saat itu, benar-benar memberi dukungan yang optimal terhadap kebijakan pertanian. Infra struktur utama pertanian seperti irigasi, pabrik-pabrik pupuk, jalan dari sentra produksi ke pasar, stabilisasi harga pangan pokok, keberadaan para penyuluh pertanian dan lain sejenisnya, disiapkan secara serius. Dukungan anggaran pun dikemas sedemikian rupa, guna terwujudnya Swasembada Beras.
Pemerintahan Soeharto memang dikenal sebagai Pemerintahan yang pro pertanian. Pak Harto yang kerap memproklamirkan diri sebagai anak petani, rupanya pantas dikatakan selaku Presiden yang cinta pertanian. Beliau faham betul siapa yang harus menakhkodai Kementerian Pertanian. Beliau tahu persis bahwa sesuatu itu harus dipimpin oleh akhlinya. Termasuk siapa yang harus ditunjuk menjadi Menteri Pertanian.
Terlepas dari pro kontra terhadap kepemimpinannya selama kurang lebih 32 tahun memimpin negeri ini, namun dalam hal keberpihakan dan kecintaannya terhadap pertanian, rasa-rasanya patut jika diberi acungan jempol. Presiden Soeharto banyak mewariskan kebijakan yang membela dan melindungi petani. Pak Harto mampu memberi aura dalam pencapaian Swasembada Beras. Lebih jauh dari itu, ternyata Beliau pun sebagai Kepala Negara mampu membangun suasana untuk selalu dekat dengan para petani.
Kondisi Penyuluhan Pertanian di era Pak Harto, terekam jauh berbeda dengan suasana saat ini. Walau saat itu tidak ada UU Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, namun dinamika dan geliat penyuluhan betul-betul terasakan.
Penyuluh terlihat memiliki kharisma dalam kehidupan kaum tani. Kehadiran Penyuluh selalu dinantikan, terlebih-lebih bila ada inovasi yang harus disuluhkan. Bahkan di beberapa daerah, Penyuluh pun banyak yang jadi pria pujaan gadis pedesaan.
Lalu, bagaimana kondisinya untuk saat ini ? Apakah dengan diterbitkannya regulasi setingkat UU tentang Penyuluhan, maka dunia Penyuluhan Pertanian bakal tampil lebih semarak dibandingkan dengan zaman Pak Harto yang tidak memiliki regulasi Penyuluhan sekaliber UU ?
Apakah UU NO 16/2006 mampu menggairahkan kegiatan Penyuluhan Pertanian secara lebih meriah ? Bagaimana situasinya setelah terbit UU 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah ? Apakah UU NO 16/2006 masih mampu memainkan peran sentralnya seusai UU NO 23/2014 diterbitkan ? Inilah serangkaian pertanyaan yang menarik untuk dijawab dengan jujur.
Pada awal terbitnya UU NO 16/2006, dinamika Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, terekam sangat menggairahkan. Setiap Kementerian yang langsung terkait UU ini terlihat begitu serius mengoperasionalkannya. Perencanaan Penyuluhan dikemas cukup apik. Terutama yang berhubungan dengan kelembagaan penyuluhan.
Di Tingkat Daerah (Provinsi dan Kab/Kota), hampir seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota sibuk menyiapkan Organisasi Perangkat Daerah masing-masing agar terbentuk kelembagaan Penyuluh selevel Eseson 2. Semangat membenahi kelembagaan benar-benar terasakan. Dimotori para Penyuluh senior, Programa Penyuluhan dirumuskan, sehingga menjadi jelas arah dan tujuan penyelenggaran Penyuluhan di tiap-tiap daerah.
Begitulah kondisinya. Para Penyuluh sungguh merasakan adanya kepastian dalam melaksanakan program penyuluhan. Tidak hanya itu. Provinsi dan Kab/Kota, ternyata bukan hanya memiliki Badan Koordinasi Penyuluhan, namun penataan Komisi Penyuluhan pun ditempuh dengan penuh harap dan tanggungjawab.
Komisi yang di dalamnya duduk para stakeholder penyuluhan, dituntuk untuk mampu memberi saran dan pandangan kritis kepada Gubernur, Bupati dan Walikota dalam melahirkan kebijakan dan strategi penyuluhan. Seiring dengan itu, hasrat Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluhan Pertanian (THL-TBPP) untuk jadi ASN terus disuarakan. Mereka meminta kepada Pemerintah agar nasibnya diperhatikan lebihnyata lagi.
Sayangnya, pada saat penyuluhan sedang semarak-semaraknya, tiba-tiba lahir UU NO 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yangnyata-nyata kurang berpihak kepada dunia penyuluhan. UU ini betul-betul memporak-porandakan kelembagaan penyuluhan, yang selama ini pun masih belum terselesaikan hingga tuntas.
Kedahsyatan UU ini antara lain adalah menurunkan status kelembagaan penyuluhan di Provinsi dan Kab/Kota. Semula Eselon 2, kini jadi eselon 3 bahkan 4, tergantung suka atau tidaknya Kepala Daerah terhadap penyuluhan.
Akibatnya apa yang terjadi ? Inilah yang memilukan. Dunia penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan ibarat berada di ujung tanduk. Penyuluhan betul-betul kehilangan greget dalam perjuangannya meningkatkan kesejahteraan petani. Para penyuluh banyak yang kecewa dengan hadirnya UU 23/2014.
Lantas sampai sejauh mana keterlibatan Kementerian Pertanian dalam membangun komunikasi politiknya dengan Kementerian Dalam Negeri tatkala sedang membahas UU Pemerintahan Daerah tersebut ? Bagaimana pula dengan keberadaan UU NO 16 Tahun 2006 seusai UU NO 23/2014 diberlakukan ?
Persoalan-persoalan yang dipaparkan di atas, jelas butuh jawaban. Lalu, apakah ada yang mau menjawab secara jujur? Mestinya ada, tapi siapa orangnya. Terus-terang, di negeri agraris semodel Indonesis, kehadiran dan keberadaan penyuluh tetap dimintakan. Pasalnya adalah ketika para penyuluh kehilangan kharisma, siapa yang paling berkompeten dan bertanggungjawab untuk mengembalikannya?
(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT)
--+
Sahabat Setia SINAR TANI bisa berlangganan Tabloid SINAR TANI dengan KLIK: LANGGANAN TABLOID SINAR TANI. Atau versi elektronik (e-paper Tabloid Sinar Tani) dengan klik: myedisi.com/sinartani/