TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta --- Sampah menjadi masalah besar khususnya bagi warga perkotaan karena menimbulkan pencemaran lingkungan. Kegiatan mengelola sampah terpadu oleh warga Katulampa, Bogor ini patut diapresiasi dan dicontoh. Salah satunya adalah budidaya maggot.
"Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) kami berdiri tahun 2010, tidak bisa langsung menyelesaikan pekerjaan sampah rumah tangga hingga tuntas. Waktu itu 6 tahun di awal manajemen belum terkelola dengan baik. Jadi TPST yang seharusnya berfungsi mengurangi sampah malah justru menjadi tempat penampungan sementara sampah," ungkap Titin Sri Suhartini, Penggiat Maggot Kampung Ramah Lingkungan “MBR” Katulampa Bogor Timur pada Webinar Sinar Tani bertema “Maggot Peluang Bisnis Masa Depan” Rabu (19/1).
Gemas dengan hal ini, di tahun 2016 dengan kepengurusan 8 orang, Titin menganalisa menyelesaikan masalah sampah dan tidak berjalan optimalnya TPST. Tugasnya tidak bisa dibilang ringan, karena sampah warga di 3 RW dengan jumlah 1000 Kepala Keluarga (KK) setiap hari seberat 1,2 Ton. Lokasinya di wilayah perumahan Mutiara Bogor Raya Blok E 9 RT 04 RW 16 Kelurahan Katulampa Kecamatan Bogor Timur , Kota Bogor. Luas area TPS3R : 300 meter persegi.
Titin dan timnya pun berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor untuk cara pengelolaan TPST yang baik. Akhirnya tahun 2017 manajemen sudah lebih tertata, yaitu memfungsikan fasilitas, mengembangkan sistem manajemen, mengembangkan sistem manajemen keuangan, menetapkan SOP, dan monitoring setiap hari.
Dengan dua kendaraan mobil bak dan motor bak (baktor), dilakukanlah pengumpulan sampah dari rumah warga, pengangkutan sampah dari warga, dan kemudian pemilahan sampah organic, ekonomis, residu. "Saat proses pemilahan sampah inilah sangat berat bagi kami, karena semuanya sampah bercampur tidak dipilah dari rumah tangga warga. Bila warga sudah memilah sampah dari rumah, kami sangat terbantu. Tim pemilah sampah ini berjumlah 12 orang, karena banyaknya volume sampah hingga 1,2 Ton. Kami pun melakukan edukasi memilah sampah, namun tidak mudah juga mengedukasi warga pada awalnya, “ tuturnya.
Usahanya membuahkan hasil, kini 300 KK sudah punya kesadaran memilah sampah. Proses selanjutnya adalah pencacahan sampah dengan menggunakan mesin sederhana. Kendala muncul ketika timbulnya gas metan dari sampah organic seberat 800 kg per hari yang mengganggu kesehatan operator. Proses composting manual perlu waktu 2 hingga 3 bulan, baru bisa “panen” kompos. Perlu solusi karena akan terjadi penimbunan sampah setiap hari semakin banyak.
Tahun 2018 Titin dan timnya bertemu dengan cara bagaimana belajar berbudidaya maggot, yang ternyata bisa menyerap sampah organic hampir 100 persen. Inilah solusi yang tepat sampah organic menjadi pakan maggot. Pada umur 13 -18 hari larva membutuhkan makan 25 – 500 mg sampah organic per hari
“Budidaya maggot organic (lalat Black Soldier Fly), mengurangi sampah organic hingga 100 persen, secara keseluruhan volume sampah berkurang 70 persen. Tahun 2019 berkolaborasi dengan lebih banyak warga. Kelebihan maggot, bukan vector penyakit, memiliki antibiotic, hanya makan bahan organic mati, bukan organisme pathogen ataupun parasite,” kata Titin.
Setelah banyak mempunyai stok maggot, maggot segar, kasgot, dan telur maggot, maka Titin dan timnya melanjutkan siklus pengolahan sampah organic berkolaborasi dengan warga lainnya. Mereka pun mulai berbudidaya lele, aquaponic, tanam sayuran, beternak, dan sebagainya. Kini mereka punya 40 kolam ikan lele, 200 ekor ayam kampung organic, 3000 ekor burung puyuh, 1500 lubang tanam hidroponik, dan 400 meter persegi tanaman sayur organic.
“Lingkungan pun menjadi lebih bersih karena sampah teratasi. Beternak ayam, puyuh dan lele menjadi sumber protein yang mudah dan murah untuk mengatasi stunting. Sekarang TPS3R telah bertransformasi menjadi Zero Waste Integrated Urban Farming, atau Pertanian Perkotaan Terintegrasi Berbasis Bebas Sampah,” kata Titin.
Transformasi ini membawa berkah tersendiri, yaitu membuka lapangan kerja, tempat wisata edukasi, pusat pembelajaran pengelolaan sampah rumah tangga terintegrasi, pemberdayaan masyarakat (remaja, wanita, bapak bapak), percontohan di Kota Bogor, dan tempat magang dan penelitian.