TABLOIDSINARTANI.COM - Gugus bintang Alpha Centaury di atas belahan langit selatan bersinar terang di kedalaman cakrawala malam yang luas dan gelap. Yang bersih tanpa awan, yang indah, tapi hitam dan sekali gus mencekam. Karena jauh di belakang bintang yang bertengger di langit tinggi itu seperti ada terowongan maha raksasa yang gelap tak ada batasnya.
Jauh tak terhingga. Andai saja manusia terperosok, terhisap ke dalamnya, pasti alam tak akan merasakannya sama sekali karena makhluk yang paling dimuliakan Allah itu dari besaran wujudnya tidak ada artinya dibanding alam semesta. Sebaliknya, manusia akan merasakan hentakan maha dahsyat yang akan membuatnya hilang terbakar, sekarat dalam kesendirian.
Angin sudah lama berhenti berhembus, tapi masih menyisakan dingin. Seolah hangat dan ceria diambil begitu saja sehingga malam itu betul-betul mendinginkan seisi alam di kaki gunung. Dingin itu sudah mulai menyelinap di leher, sendi-sendi dan akhirnya menggigilkan sekujur tubuh.
BACA JUGA: Gila (1)
Memed Gunawan dan 13 Karya Buku Novel dan Puisinya
Tapi malam yang paling sepi di tengah padang pasir sekali pun tak akan pernah dirasakan tenteram oleh orang-orang yang sedang gelisah. Pikiran manusia mengontrol seluruh rasa dan gerak fisik. Lemparan-lemparan sel otak yang sedang resah telah menciptakan selaksa kegelisahan dan membuat hawa panas mengalir ke semua pori-pori kulit. Karena itu Marbun tidak sedikit pun merasa kedinginan. Dengarlah pula degup jantung para lelaki, yang terus gemuruh bertalu-talu ibarat genderang raksasa yang suaranya menghunjam di rongga dada. Sesungguhnya, manusia perkasa bisa tiba-tiba menjadi lemah dan berubah jadi pengharap tak berdaya ketika mereka menunggu kelahiran anak.
Suara batin di rumah sakit yang terletak di sudut kota kecil tempat kelahiran Bentang selalu riuh. Itulah kegelisahan yang terus terjadi di rumah sakit mana pun karena di sana ada orang-orang yang kuatir dan takut akan kematian, kesakitan, dan kejadian yang tidak sesuai dengan harapan. Belum lagi di sana pun banyak pula orang sehat menjadi sakit karena takut akan tagihan dari rumah sakit, justru sesudah orang yang dicintainya beranjak sembuh. Inilah sandiwara kehidupan di dunia dan peradaban manusia.
Di bagian tengah bangunan bercat putih itu, dari dulu, ada manusia yang tak pernah istirahat. Ada suasana yang tak pernah sepi dari harap orangtua dan tangis bayi. Tempat yang agak terpencil dari perpacuan para pencari nafkah di pusat kota itu adalah ruang bersalin. Di sepanjang gang, kaum perempuan duduk di bangku besi panjang. Sebagian lagi berjalan perlahan bolak balik sambil memegang perutnya yang besar. Merekalah perempuan yang menunggu hadirnya bayi penghuni baru alam raya ini. Merekalah yang sedang membangun sebaris sejarah dengan melahirkan anak-anaknya ke dunia kehidupan. Mereka melangkah hati-hati, berjalan zig-zag, dengan kaki agak mengangkang dan perut menonjol. Mereka seharusnya berat dan lelah, karena baru melihatnya saja orang sudah ikut merasakan kelelahan. Tetapi kelelahan justru tidak tercermin dari muka-muka perempuan itu. Mereka selalu berseri memancarkan kebahagiaan. Menandakan ada secercah harapan dan sukacita. Karena melahirkan anak adalah kebanggaan seorang perempuan.
Lalu para suami atau kerabat dekat berkerumun, bertebaran di bangku yang berjejer di lorong berlantai abu-abu dan di halaman. Semuanya memperlihatkan perpaduan antara kebahagiaan dan kekuatiran. Laki-laki tidak melahirkan. Mereka hanya menyumbang kekuatiran, sebagai tanda ikut berjuang kepada para perempuan yang berada pada batas antara hidup dan mati ketika melahirkan bayi.
Debar jantung para lelaki itu berpacu memukul rongga dada, dan gemanya membentur gendang telinga. Membuat para lelaki perkasa menggigil dicekam ketakutan. Kematian, bagi para lelaki perkasa tidak pernah ditakuti, tetapi luka dan sakit sekecil apa pun yang diderita oleh orang-orang yang dicintainya akan turut dirasakan para lelaki itu sampai ke setiap simpul sarafnya, sehingga membuat mereka kuatir dan ketakutan. Itulah keajaiban sebuah keberanian. Rasa cinta bisa menaklukkan keperkasaan, dan muka jernih para bayi tak berdosa bisa membuat kemarahan menguap seketika, dan membuat para perkasa segera jatuh dalam iba. Itulah sebabnya banteng jantan perkasa kalah -atau mengalah-, rela mengorbankan nyawanya ketika dihadapkan untuk bertarung dengan bayi sapi dalam cerita legenda Minangkabau.
Bentang, bayi yang dilahirkan hari itu, di tempat sederhana ini, 27 tahun lalu, sekarang tanpa sadar sedang menangguk ketenaran. Namanya dibicarakan dan digunjingkan di mana-mana. Dia adalah orang hebat, yang menggegerkan dunia karena keanehan sekaligus keistimewaan dirinya. Bentang, pada saat-saat tertentu punya kemampuan melihat dengan mata hatinya, menerawang dengan nalurinya dan menyimpulkan dengan pikirannya hanya dalam kilatan waktu, kecepatan yang menakjubkan untuk mengetahui sesuatu yang teramat rahasia. Semua itu terjadi tanpa disadarinya. Tanpa diinginkannya. Oleh karena itu Bentang tidak peduli dengan kehebatannya. Tak ada sedikit pun kebanggaan pada dirinya akan kemampuannya. Karena Bentang sendiri tidak tahu ada sesuatu yang berbeda dan hebat dalam dirinya.
Kemampuan Bentang yang mengherankan dan menakutkan sudah menyengat telinga siapa pun yang mendengarnya. Dia adalah seorang yang bukan siapa-siapa kemudian menjadi ternama. Seekor ikan rucah yang menjadi ikan berharga. Seorang punakawan yang menjelma menjadi raja tanpa dirinya sadar apa yang sedang dilakukannya, seperti dalam cerita wayang rekaan dalang “Petruk Jadi Raja”. Karena setiap gerakan otaknya selalu mencuatkan pikiran baru dan nalurinya melahirkan kejutan. Dia selalu berpikiran gila dan semua orang menganggapnya orang yang keterlaluan dalam segala hal. Semua orang menganggap si Bentang itu sedang mengumbar khayalan yang terbang di awang-awang. Mengada-ada. Di luar nalar. Tidak serius. Aneh. Tak masuk akal. Mimpi. Dan terakhir, Gila. Tapi kegilaannya menjadi kekuatan yang menakutkan.
Kini, namanya selalu diingat orang karena dia selalu menunjukkan kehebatan. Berbagai media memberitakan keajaiban anak muda yang tidak pernah peduli pada dirinya ini. Security situs ternama jebol diterobos para hackers sehingga rahasia menjadi informasi publik, selanjutnya dunia yang tadinya gelap itu sekarang terang benderang. Dan salah satu hackers itu adalah Bentang yang membobol tanpa sengaja karena pikiran dan matanya bisa tiba-tiba dapat melihat dan mengira-ngira kunci-kunci rahasia dengan tingkat ketepatan yang mengherankan. Lewat ketidaksengajaan itulah Bentang menjadi terkenal. Sehingga sekarang Bentang ada di mana-mana. Dia dikenal sebagai pembobol situs nomor wahid, dan kemudian pembuat virus nomor satu sehingga berbagai situs meratap-ratap minta perlindungan darinya. Bentang tidak memerlukan ketenaran dan harta karena dia tidak mengerti apa keperluannya, tetapi namanya terpampang pada halaman pertama berbagai koran dan majalah. BENTANG ALAM KAURIPAN si hacker gila.
Bentang tidak pernah tahu atau paling tidak bisa membayangkan perjuangan emaknya dan suasana yang mencekam ketika dia dilahirkan. Dia juga tidak pernah merasakan kelelahan dirinya saat melangkahi hidup, mengunyah dan memamah perjalanan demi perjalanan sampai akhirnya mengantarkan dia menjadi seorang yang terkenal di lingkungan yang tidak pernah dibayangkan.
Duapuluh tujuh tahun yang lalu, ketika perjalanan hidup Bentang masih berada di kilometer nol, di rumah sakit bersalin sederhana itu, dirinya hanyalah bayi merah tak berdaya. Bahkan sesudah dia bisa jalan pada umur 12 bulan pun, tak pernah ada yang meramalkan anak yang korengan di kepalanya itu akan menjadi orang hebat. Seluruh keluarga dan kenalannya hanya mengenal anak ini sebagai anak yang sehat dan kuat.
Duapuluh tujuh tahun lalu, bapaknya masih duduk terpekur di rumah sakit bersalin kecil ini. Bersandar lelah di tengah kerumunan para suami yang saling melempar optimisme dan pesimisme secara bersamaan, yang ternyata mereka pun tak pernah yakin apa yang dipikirkannya akan menjadi kenyataan. Tapi bagi Marbun, bapaknya itu, perasaan galau saat menunggu isteri melahirkan itu bukanlah yang pertama kali.
Pada saat Marbun masih muda belia, dia juga duduk di sana menunggui isterinya, perempuan yang sama, sambil tak lepas berdoa. Lahirlah anak pertama, seorang bayi laki-laki yang sehat dan gagah. Sedikit lebih cakap dari dirinya. Dia tidak pernah kapok. Buah pergumulan yang dikemas dalam bahasa cinta di tempat tidur pada masa-masa berikutnya, yang biasanya selalu berlangsung seperti kegiatan rutin, lahirlah anak kedua, ketiga dan seterusnya. Akhirnya, malam ini dia duduk kembali di tempat yang sama menunggu kelahiran anaknya yang ketujuh. Rutin, tanpa ada gertak perubahan rasa dalam dirinya. Semuanya monoton. Kecuali, dia akui dalam hatinya, debar jantung kekuatiran saat menunggu kelahiran bayi, dan bahkan doa kepada Allah swt. untuk meminta keselamatan isterinya tidak sehebat dulu ketika isterinya melahirkan anak yang pertama. Kini berdoa itu masih dilakukannya, tapi diselingi dengan membaca koran dan sedikit bercanda dengan orang di sekitarnya. Kekuatirannya semakin luntur. Tidak seperti dulu. Marbun lebih santai, karena menurutnya, kini isterinya sudah amat sangat berpengalaman dalam melahirkan anak-anaknya. Terowongan itu sudah mulus sesudah berkali-kali dilewati bayinya.
“Apakah aku berdosa ketika aku tidak lagi terlalu kuatir saat si Murniasih melahirkan bayinya. Apakah aku mulai tidak bertanggung jawab?” tanyanya pada dirinya sendiri.
“Terus terang aku tidak terlalu kuatir dan tidak terlalu serius berdoa,” lanjutnya.
Marbun adalah laki-laki yang sederhana, baik raut wajah maupun pemikirannya. Dia sedang terduduk lesu, seperti perabot tua atau rongsokan yang teronggok di gudang. Seharian dia bekerja di bengkelnya. Tak heran jika badannya kekar, ototnya menonjol, mukanya keras dan kasar. Rambutnya agak bau oli, bahkan jari-jarinya kehitaman, apalagi kukunya. Terlihat kotor dan jorok. Kupingnya mungkin sudah agak tuli karena setiap hari dia mendengar suara keras, “tak-tok, tak-tok, dak-duk, dak-duk” ketika palu beradu dengan besi atau body mobil. Kulit tangan dan lengannya sudah tebal dan agak mati rasa sehingga cipratan api dari mesin las sudah tidak terasa panas lagi. Hatinya sudah terlatih untuk selalu bersabar menghadapi langganannya yang agak rewel dan terus menungguinya ketika mobil VW tuanya sedang direnovasi.
(Bersambung)