Golde rice, padi hasil bioteknologi
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Penerapan bioteknologi di Indonesia hingga kini masih pro kontra. Bagi yang pro, menilai bioteknologi dapat membantu mengatasi persoalan produksi pangan, baik dari sisi produktivitas maupun peningkatan mutu. Namun yang kontra menganggap bioteknologi dapat membahayakan keamanan pangan dan lingkungan.
Namun Kepala Laboratorium Biologi Molekul dan Bioteknologi Universitas Jember, Bambang Sugiharto menilai, bioteknologi bukan hal yang menakutkan dan haram. Tapi merupakan pertanian masa mendatang untuk mendukung ketahanan pangan. “Bioteknologi ke depan dapat mengatasi permasalah utama dalam dunia pertanian,” ujarnya saat Focus Group Diskusi (FGD) Akselerasi Penerapan Teknologi Pertanian di Indonesia, Selasa (1/10).
Bambang melihat saat ini pemanfaatan plasma nutfah di Indonesia masih kurang. Padahal dengan bioteknologi memungkinan potensi plasma nutfah yang ada tersebut bisa memperbaiki nutrisi yang ada dalam tanaman.
“Dengan materi genetik organisme dari hewan, tanam dan mikroba, bisa kita lakukan rekayasa genetik dengan mengubah tanaman, baik nilai gizi, ketahanan hama dan bisa memperbaiki sifat tanaman, serta produktivitas tanaman,” tuturnya.
Menurut Bambang, bioteknologi sebenarnya suatu metode lain dari pemuliaan tanaman atau persilangan tanaman. Persilangan tanaman telah digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat tanaman sejak dahulu dengan cara menyilangkan tanaman yang satu dengan lainnya.
Lebih lanjut Bambang menjelaskan, dalam pemuliaan tanaman, materi gentik jantan dan betina menjadi satu. Persilangan dilakukan dengan mengawinkan bunga jantan dan betina, sehingga meteri genetik bercampur menjadi satu. “Untuk mendapatkan hasil dengan pesilangan memerlukan waktu lama, kadang hasilnya tidak sesuai harapan,” katanya.
Sedangkan, bioteknologi dengan cara mengisolasi meteri gentik yang dimasukkan dengan bioteknologi ke tanaman lainnya untuk mendapatkan tanaman yang sesuai yang diinginkan. Dengan bioteknologi materi genetik bisa diisiolasi dengan kloning gen yakni memasukan varietas tanaman yang diinginkan.
“Karena itu untuk mendapatkan varietas baru, waktunya relatif lebih pendek dbandingkan sistem persilangan tanaman,” ujarnya. Untuk merakit varietas baru dengan bioteknologi, seperti tebu tahan kekeringan hanya perlu waktu 3 tahun. Namun jika dengan cara konvensional diperkirakan akan memakan waktu hingga 17 tahun. Dengan demikian dalam waktu 8-10 tahun, varietas hasil bioteknologi bisa dimanfaatkan petani.
Contoh hasil bioteknologi lainnya adalah tanaman padi. Hasil penelitian tanaman hasil bioteknologi jumalh bulir per malai lebih banyak, sehingga produktivitasnya naik. “Kita sedang kerjakan IR-64 dengan rekayasa genetik, ternyata terjadi peningkatan jumlah anakkan. Saat ini masih penelitian,” ujar Bambang.
Ada juga varietas golden rice yakni padi dengan provitamin A. Varietas ini menurut Bambang bisa untuk meningkatkan nilai nutrisi masyarakat pedesaan. Bahkan IRRI telah meneliti padi dengan nutrisi zinc atau zat besi. “Jadi bioteknologi itu sudah ada hasilnya. Tinggal kita mau mengembangkan atau tidak?” tegasnya.