TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- Croplife Indonesia menegaskan, pertanian kini dihadapkan pada ancaman perubahan iklim, hama yang semakin kebal, dan lahan yang berkurang, adopsi bioteknologi dalam pertanian menjadi kunci vital bagi peningkatan produksi pangan Indonesia yang pada akhirnya membawa kesejahteraan bagi para petani.
Biotechnology and Seed Manager dari Croplife Indonesia, Agustine Christela Melviana mengungkapkan pertanian di Indonesia terus menghadapi tantangan produktivitas akibat berbagai faktor yang mengancam.
Perubahan iklim, hama yang semakin kebal pada produk perlindungan tanaman, dan lahan yang semakin berkurang membuat petani sulit memenuhi kuota produksi pangan dan harus mengimpor dari negara lain. Pada akhirnya ketahanan pangan nasional kita bisa terancam jika tidak ada intervensi di bidang sains dan teknologi, ujarnya.
Agustine menjelaskan penggunaan benih bioteknologi sangat berpihak pada petani. Teknik-teknik bioteknologi modern, seperti benih Produk Rekayasa Genetika (PRG) dan genome editing, dirancang untuk meminimalisir potensi kerugian bagi petani.
Menurutnya, produk-produk ini, khususnya bagi petani kecil, memberikan keunggulan seperti adaptabilitas terhadap perubahan cuaca ekstrem dan ketahanan yang lebih tinggi terhadap hama dan penyakit, dibandingkan dengan benih konvensional/non-PRG.
“Jika hanya mengandalkan benih konvensional saja, petani akan sulit bertahan menghadapi perubahan iklim ataupun Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) yang akan selalu ada dan hal-hal ini akan menyebabkan penurunan hasil panen dari petani,” tambahnya.
Rekayasa genetika merupakan teknik yang menggeser gen pembawa sifat dari satu organisme ke organisme lain yang berbeda, menghasilkan perubahan dalam struktur genetik. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan bahan pangan dengan kualitas yang lebih unggul.
Produk Rekayasa Genetika (PRG) memiliki beragam karakteristik yang superior dibandingkan dengan produk pangan alami. Di Indonesia, PRG telah tersebar luas, contohnya semangka tanpa biji, jagung yang lebih manis, dan sayur-sayuran yang tahan hama sehingga lebih awet.
Tidak hanya itu, PRG semakin berkembang dengan variasi bentuk, warna, dan kombinasi yang beragam. Misalnya, semangka kubus, jeruk pentagon, tomat ungu, grapple (apel rasa anggur), dan kiwi beri adalah beberapa contoh PRG yang unik yang telah muncul.
Agustine juga meyakinkan, pengelolaan bioteknologi di lapangan selalu memperhatikan aspek ekologis dan keberlanjutan untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan.
Tingkatkan Produktivitas
Agustine menegaskan, penggunaan benih bioteknologi telah terbukti meningkatkan produktivitas pertanian global, sehingga memungkinkan petani untuk mendapatkan hasil lebih besar dengan lahan yang lebih kecil.
Dirinya membagikan temuan dari J. GM Crops & Food yang menunjukkan bahwa adopsi benih bioteknologi meningkatkan pendapatan petani secara signifikan. Dimana, tahun 2020, pendapatan petani global meningkat sebesar USD 18,8 miliar.
Jika dirinci, nilai pendapatan petani di negara berkembang naik 52 persen, petani di negara maju naik 48 persen. Naiknya pendapatan itu berasal dari peningkatan produksi dan penghematan biaya seperti input pertanian (agricultural input) dan biaya operasional lain.
Dimana, benih bioteknologi juga membantu melindungi 23,4 juta hektar habitat alami dan mengurangi emisi gas rumah kaca setara dengan mengurangi 15,6 juta mobil di jalan.
Di Indonesia, penggunaan benih jagung hasil rekayasa genetik diharapkan dapat meningkatkan produktivitas petani sebanyak 10 persen per hektare, dengan peningkatan pendapatan yang signifikan.
Dengan data dari Kementerian Pertanian (Kementan) tahun 2023 yang mencatat rata-rata produktivitas jagung nasional sebesar 5,8 ton per hektare. Asumsi peningkatan produktivitas sebanyak 10 persen menjadi 6,38 ton memberikan gambaran positif terkait potensi peningkatan hasil yang dapat dicapai melalui penggunaan benih jagung hasil rekayasa genetik.