Senin, 20 Mei 2024


Menuju Swasembada Gula 2028,PERAGI Sumbang Inovasi 

07 Mei 2024, 10:25 WIBEditor : Gesha

PERAGI menggelar Focus Group Discussion (FGD) "Pendampingan Program Plant Cane pada Bongkar Ratoon untuk Meningkatkan Produktivitas Hasil Gula Tebu Rakyat Lahan Kering", Selasa (07/05) | Sumber Foto:Istimewa

TABLOIDSINARTANI.COM, Bogor -- Ditengah langkah besar Indonesia menuju Swasembada Gula 2028, Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) siap memimpin dengan kontribusi inovatifnya, membawa harapan dan solusi bagi masa depan industri gula yang berkelanjutan.

Meski kebutuhan gula dalam negeri mencapai 7 juta ton, produksi gula nasional masih mengalami defisit yang signifikan. Menurut data dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan, ID Food, produksi gula dalam negeri baru mencapai 2,4 juta ton.

Menuju target swasembada gula pada tahun 2028, Indonesia menghadapi beberapa tantangan, baik di sektor pertanian langsung maupun di sektor pendukung.

Permasalahan utama di sektor pertanian meliputi penurunan kualitas tanaman tebu dan bibit yang kurang optimal. Di sisi lain, perbaikan fasilitas pabrik gula menjadi prioritas mendesak untuk mendukung pencapaian target tersebut.

Sebagai organisasi profesi di bidang Agronomi, PERAGI merasakan perlunya perbaikan inovasi secara Agronomi untuk meningkatkan produktivitas dan produksi tebu Nasional.

Ketua Umum PERAGI, Andi Muhammad Syakir, MS mengatakan, di era tahun 1930-an, Indonesia yang dahulunya bernama Hindia Belanda pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu, produksi gula mencapai 2,9 juta ton per tahun dengan luas area perkebunan tebu mencapai 196 ribu hektare. 

Sayangnya, 90 tahun kemudian di tahun 2020 dengan luas area lebih dari dua kali lipatnya, produksi gula hanya mencapai 2,5 juta ton. Bahkan, sejak 1970-an Indonesia tidak lagi menjadi negara eksportir, namun menjadi negara pengimpor gula.

"Kita sekarang sudah menjadi net importir gula. Apakah kita hanya diam saja?, PERAGI harus bisa menuangkan pemikiran konstruktif bagi Pemerintah, khususnya dalam peningkatan Kualitas tebu dari sisi Agronomi," tambahnya.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari, menurutnya Riset inovasi dibutuhkan dalam kontribusi masyaraka serta diadopsi pekebun. 

"Kita perlu Mencari solusi untuk meningkatkan produktivitas terkait bahan Baku, tidak hanya ekstensifikask tetapi juga intensifikasi. Perlu pendekatan tentang adopsi peningkatan varietas Unggul. Terkait pengelolaan seperti bongkar ratun serta penyakitnnya. Kolaborasi Pemerintah juga dibutuhkan untuk mencari solusi efektif produksi tebu," ujarnya.

Karena itu, PERAGI menggelar Focus Group Discussion (FGD) "Pendampingan Program Plant Cane pada Bongkar Ratoon untuk Meningkatkan Produktivitas Hasil Gula Tebu Rakyat Lahan Kering", Selasa (07/05) dengan mengundang berbagai narasumber.

Mulai dari Dr. Wawan Sulistiono S.P., M.P (BRIN), Prof. Dr. lr. Taryono, M.Sc (Universitas Gadjah Mada) hingga Dr. Purwono (Institut Pertanian Bogor).

Ragam Inovasi

Salah satu inovasi yang dipaparkan Dr. Wawan Sulistiono S.P., M.P adalah pengembangan Bibit tebu berkualitas dan pendampingan sistem pindah Bibit untuk meningkatkan rendemen dan produktivitas tebu giling . 

Ditambah lagi, lahan untuk pertanian tebu telah bergeser dari lahan yang berdekatan dengan sawah ke lahan kering, yang mengakibatkan penurunan kesuburan tanah. Hal ini berdampak pada kondisi perakaran tanaman dan ketersediaan nutrisi, sementara perubahan iklim juga mengganggu proses evaporasi dan faktor-faktor lainnya.

"Tanaman tebu di lahan kering harus bertahan agar tidak terganggu produksi dan produktivitasnya karena gangguan perakaran. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan resiliensi tanaman dengan cara meningkatkan kemampuan perakaran dan pucuknya, salah satunya melalui pemilihan varietas unggul yang toleran terhadap kekeringan dan memiliki produksi tinggi," jelasnya.

Sementara itu, Prof. Dr. lr. Taryono, M.Sc dari Universitas Gadjah Mada menjelaskan penggunaan mikroba dalam budidaya tebu yang berkelanjutan dapat membantu memperbaiki kemampuan perakaran tanaman.

Menurutnya, eksploitasi hubungan simbiosis antara tanaman dan mikroba merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencapai hal tersebut.

"Simbiosis tersebut dapat meningkatkan fiksasi nitrogen, kelarutan fosfat, produksi fitohormon, regulasi etilen, produksi siderofon, senyawa volatil, hingga antibiotik. Pada tebu, simbiosis ini dapat terjadi di zona perakaran, akar, batang, bahkan daun, sehingga penting untuk dimanfaatkan secara optimal," sebutnya.

Saat ini, Gluconacetobacter diazotrophicus sedang dikembangkan sebagai pupuk hayati yang memiliki beberapa peran penting.

Pupuk ini dapat memproduksi siderofor untuk melarutkan fosfat, bertindak sebagai pengendali biologis yang menginduksi sistem resistensi tanaman, serta melakukan fiksasi nitrogen. Selain itu, Gluconacetobacter diazotrophicus juga menghasilkan hormon IAA dan ACC Deaminase.

Namun, inovasi-inovasi tersebut hanya dapat efektif dilaksanakan jika didukung oleh teknologi pengelolaan unsur hara yang tepat. 

Dr. Purwono dari Institut Pertanian Bogor mengatakan, Pemupukan menjadi kunci dalam meningkatkan bobot batang tebu, kadar nira tebu, serta tingkat kemanisan tebu. 

"Tanpa pemupukan yang tepat, pencapaian parameter hasil tebu akan sulit terwujud. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan penerapan lima prinsip pemupukan yang tepat, yaitu dosis, jenis, mutu, waktu, dan cara," tambahnya 

Berdasarkan Pedoman Budidaya Tebu Giling yang Baik (Good Agricultural Practices For Sugar Cane), dosis umum yang direkomendasikan untuk memproduksi tebu per 1.000 ku/ha adalah: N = ± 150 kg N; P = ± 105 kg P2O5; K = ± 150 kg K2O. Saat ini, di wilayah Jawa, pupuk yang umum digunakan adalah pupuk majemuk (15-15-15) dan ZA dengan dosis sekitar NPK 400-500 kg/ha dan ZA 500-600 kg/ha.

Reporter : Nattasya
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018