Kamis, 18 April 2024


Pemerintah Gandeng Akademisi Perangi AMR dan PIB

19 Nov 2018, 08:10 WIBEditor : GESHA NATTASYA

Perlu kesadaran berbagai pihak untuk memerangi bahaya resistensi antimikroba | Sumber Foto:HUMAS PKH

 

TABLOIDSINARTANI.COM, Malang ---- Dalam rangka memerangi bahaya dari resistensi antimikroba dan menekan laju pertumbuhannya, pemerintah menggandeng semua pihak untuk ikut serta terlibat di dalamnya. 

Selain masyarakat dan peternak, kali ini pemerintah melalui Kementerian lintas sektor, mulai dari Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan organisasi lainnya yaitu FAO, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) dan Indonesian One Health University Network (INDOHUN) menggandeng peran akademisi dengan melakukan public awwarness di acara Studium General (Kuliah Umum) Universitas Brawijaya, Malang.

Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan Pekan Kesadaran Antibiotik Se-dunia yang diadakan untuk meningkatkan kesadaran para akademisi akan bahaya resistensi antimikroba (antimicrobial resistance / AMR), yang pada acaranya ini juga membahas ancaman penyakit infeksi baru (PIB).

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian, Syamsul Maarif menuturkan kuliah umum mengenai AMR ini adalah untuk mengajak mahasiswa sama-sama ikut serta memerangi laju resistensi antimikroba dan mengendalikan penyakit infeksi baru.

"Terutama ini bagi adik-adik kita yang akan lulus dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Kesehatan Masyarakat serta fakultas teknis lainnya agar bisa menjadi agen perubahan untuk mencapai kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan yang optimal,” ucap Syamsul Ma'arif.

Berdasarkan laporan Global Review yang dirilis pada 2016 menggambarkan model simulasi dimana kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada 2050.

Di tahun itu, diperkirakan kematian mencapai 10 juta orang per tahun dan angka tertinggi terjadi di Asia.

Senada dengan Kementan, Yulianto Santoso, Dokter Spesialis Anak yang juga mewakili Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) mengatakan, dirinya sering menghadapi pasien yang sulit disembuhkan hingga meninggal dunia karena obat-obatan tidak lagi mempan membunuh kuman penyakit.

Perilaku yang tidak tertib menggunakan antibiotik sesuai aturan, termasuk kemudahan masyarakat untuk membelinya dinilai dr. Yulianto sebagai pemicu terjadinya resistensi antimikroba.

“Hasil survey yang pernah kami lakukan menyatakan dari tahun ke tahun penggunaan antibiotik untuk batuk pilek, dan diare tetap tinggi yaitu sekitar 60 persen. Pasien pergi ke puskesmas karena batuk pilek, juga dikasih antibiotik. Jika tidak dikendalikan, 10 juta jiwa akan meninggal setiap tahun pada 2050. Itu berarti setiap satu menit ada 19 kematian akibat infeksi bakteri yang tidak bisa disembuhkan" jelasnya.

Kemenko PMK dalam paparannya menyebutkan, para pakar kesehatan hewan dunia telah mengelompokkan pathogen (kuman berbahaya penyebab penyakit) dari 3 area, yaitu 1.415 pathogen pada manusia, 372 pathogen pada karnivora domestik (anjing,kuncing, dsb) dan 616 pathogen penyakit pada ternak.

“Dalam dekade terakhir memang wabah akibat virus menjadi sorotan dunia seperti virus flu H1N1, Ebola, Mers-CoV dan Zika. Namun ternyata perubahan karakter pathogen juga sedang terjadi pada bakteri, yang secara terus menerus bertambah kebal dari berbagai golongan antibiotik,” jelas Rama Fauzi dari Kemenko PMK.

Reporter : Kontributor
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018