Minggu, 19 Mei 2024


Kearifan Lokal, Sumber Ketahanan Pangan Negara

15 Mei 2021, 08:09 WIBEditor : Yulianto

Tepung pangan lokal potensial substitusi terigu | Sumber Foto:Julian

TABLOIDSINARTANI.COM, Malang---Pemanfaatan kearifan pangan lokal adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. Kebijakan sebuah negara dapat mempengaruhi akses masyarakat kepada bahan pangan, seperti yang terjadi di Thailand, Myanmar, Filipina.

Itulah mengapa hal yang wajar apabila Pemerintah kita pun memberi perhatian serius terhadap beragam isu prioritas yang sebaik nya dikembangkan dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan.

Saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur secara serius ingin mengembangkan pemanfaatan pangan lokal. Menurut, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyatakan ada 7 jenis pangan alternatif non beras yang akan dikembangkan yaitu jagung, singkong, talas, kentang, pisang, porang dan sagu. 

Lantas, apa yang disebut dengan pangan lokal ? Berdasarkan UU Pangan No. 18 Tahun 2012, pengertian pangan lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai potensi dan kearifan lokal.

Tujuan pemanfaatan pangan lokal sendiri dimaksudkan untuk pertama,mengembangkan pangan pokok sumber karbohidrat dengan berbagai bentuk olahannya yang dapat disandingkan dengan beras/nasi, yang berbahan baku sumber pangan lokal. 

Kedua, membangun kesadaran masyarakat untuk kembali pada pola konsumsi pangan pokok asalnya melalui penyediaan bahan pangan pokok selain beras serta sosialisasi dan promosi diversifikasi pangan.

Seperti yang dirancang Badan Ketahanan Pangan kegiatan Pengembangan dan Pemanfaatan Pangan Lokal ini diharapkan dapat lebih memasifkan gerakan diversifikasi pangan, khususnya pangan sumber karbohidrat, dalam rangka mendukung pemantapan ketahanan pangan nasional.

Gerakan diversifikasi pangan akan efektif apabila didukung oleh ketersediaan aneka ragam bahan pangan melalui pengembangan usaha pangan lokal dan perilaku konsumen masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi aneka ragam pangan.

Pengembangan pangan lokal, semoga mampu "mencerahkan" masyarakat tentang banyak nya pilihan yang dapat dijadikan makanan utama rakyat selain beras. 

Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009 malah menyebutkan bahwa kita tidak boleh lagi main-main dengan kebijakan diversifikasi pangan. Sedikit demi sedikit kita juga harus berani dan mampu mengerem konsumsi masyarakat terhadap beras.

Bila di negara tetangga mereka mampu menekan angka konsumsi beras hingga di bawah angka 80, maka yang jadi pertanyaan serius nya adalah mengapa di negara kita angka nya masih di sekutar 95 persen. Mengapa laju konsumsi beras per kapita per tahun warga Malaysia, Singapura, Thailand atau pun Korea Selatan bisa dibawah angka 80 persen.

Kesulitan nya adalah bagaimana kaitan nya dengan budaya masyarakat yang telah memposisikan beras sebagai komoditas pangan pokok nan bergengsi. Makan tidak kenyang kalau tidak makan beras. Stigma ini perlu dirubah perlahan-lahan.

Kelemahan berikut nya, ternyata kita pun belum memiliki teknologi yang dapat mengolah jagung, ketela pohon, iles-iles, porang, ubi jalar, sukun, porang, garut dan lain sejenis nya, sehingga benar-benar mampu menyerupai beras, baik rupa dan rasa nya.

Beberapa Perguruan Tinggi yang mengembangkan teknologi pangan harus mulai melakukan perintisan "beras analog". Beras yang berasal dari pangan lokal. Sayangnya dalam perjalanan nya terekam masih banyak masalah yang menghadang nya. 

Pengembangan pangan lokal dan upaya meragamkan pola makan masyarakat, sebaik nya dikemas berbasis kesisteman. Tidak akan optimal hasil nya kika berjalan masing-masing. Upaya meragamkam pola makan agar tidak hanya bertumpu kepada beras, kita masih memiliki Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2009. Beberapa Provinsi dan Kabupaten dan Kota telah menindak-lanjuti dengan Peraturan Gubernur maupun Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. 

Masalah nya adalah kenapa setelah lebih dari 12 tahun regulasi ini ditetapkan, ternyata hasrat untuk menganeka-ragamkan pola makanan rakyat ini seperti yang jalan ditempat ? Setumpuk regulasi yang sudah ditelorkan nya itu seperti yang tidak ada taring nya dalam tujuan nya untuk mengubah pola konsumsi rakyat. 

Lebih aneh nya lagi, ternyata bila kita cermati kebijakan yang ditempuh Pemerintah sekarang, fokus dan prioritas yang digarap nya lebih mengarah ke pencapaian swasembada padi, jagung dan kedelai. Tidak lagi ke usaha diversifikasi menu makanan masyarakat. 

Fokus untuk meraih swasembada Pajale, lumrah terjadi karena salah satu kontrak politik antara Menteri Pertanian dan Presiden di kala itu adalah peningkatan produksi yang optimal dalam rangka mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan.

Jangan anggap sepele

Soalpenganeka-ragaman menu makanan masyarakat, jangan sekali-kali dianggap sebagai hal yang sepele. Bukan saja kita perlu menyelami apa-apa yang pernah disampaikan Malthus 350 tahun lalu, namun jika kita baca tanda-tanda jaman yang ada pun, rasa nya bangsa ini harus waspada dengan problematika kerawanan pangan ke depan. 

Itulah sebab nya kita penting untuk menggelorakan semangat meragamkan pola makan ini. Kita perlu membangun spirit baru. Tiada hari tanpa mengkonsumsi pangan lokal. Mari kurangi konsumsi beras. 

Mari wujudkan gerakan makanlah karbohidrat non beras. Pemerintah pusat sebaiknya mewajibkan Pemda Kabupaten/Kota untuk kembangkan pangan lokal dan mulailah dari diri sendiri. 

Baru-baru ini, awal tahun 2021, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mulai serius kembangkan Pisang Sang Mulyo yang diberikan nama  Presiden Joko Widodo di Kecamatan Dampit dan Kecamatan Turen Kabupaten Malang.

Pangan lokal seperti porang yang panen 8 bulan mulai banyak ditanam di Kabupaten Madiun dan sekitarnya, Kabupaten Kecamatan Kepohbaru Bojonegoro, Kabupaten Tuban, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang.

Porang bisa diolah menjadi lem pesawat terbang, beras Shirataki Jepang, Mie Jepang, untuk tujuan ekspor. Jadikan pangan lokal sebagai sumber kekuatan bangsa guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kharisma pangan lokal, harus dikemas lebih lanjut, sehingga memberi nilai tambah tinggi kehidupan bagi mereka yang mengkonsumsi nya. Upayamenanamkan kesadaran baru di tengah-tengah masyarakat perlu terus digalakan. Kita tidak boleh lagi melahirkan kebijakan setengah hati dalam mengembangkan Pangan Lokal. 

Kita tidak bisa lagi menetapkan anggaran Pemerintah (APBN maupun APBD) yang "apa adanya" dalam pembangunan pangan lokal. Namun yang penting dicermati adalah bagaimana keseriusan kita dalam merancang Skenario Pembangunan Pangan Lokal untuk 20 tahun ke depan. 

Disinilah kita memerlukan ada nya Grand Desain Pengembangan dan Pemanfaatan Pangan Lokal yang dirumuskan secara utuh, sistemik dan holistik, minimal untuk 20 tahun mendatang. Memang, saat ini Pemerintah sudah menyusun Road Map tentang Pangan Lokal. Tapi tanpa dilandasi oleh Grand Desain, kita khawatir tidak akan berlangsung dengan baik. 

Grand Desain ini diharapkan mampu menjadi arah dalam merumuskan kebijakan pengembangan pangan lokal. Selain itu, kita juga harus berani menerapkan pendekatan GERAKAN dan mulai meninggalkan pendekatan PROYEK dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pangan lokal ini.

Semangat melaksanakan gerakan dalam program Pemerintah sebetulnya sudah ditempuh, yakni lewat Perpres No. 22 Tahun 2009. Regulasi ini berjudul Gerakan Percepatan Penganeka-ragaman Pangan berbasis Sumber Daya Lokal. Sekali pun Perpres nya bernama gerakan, namun dalam pelaksanaanya tetap menerapkan prinsip keproyekan. 

Inilah yang penting untuk di tata ulang. Gerakan adalah kegiatan yang berkesinabungan. Gerakan harus berjalan tanpa batas waktu. Bahkan yang nama nya gerakan tidak boleh terkendala oleh anggaran.

Sekali lagi, kita berani menetapkan kata gerakan dalam sebuah regulasi, maka kita harus komitmen, terbuka, akuntabilitas dan konsisten menjalankan nya. Pemprov Jawa Timur bisa mewujudkan sebagai *Provinsi Lumbung Pangan Lokal peringkat pertama Secara Nasional.

 

Reporter : Satriya Nugraha
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018