Pengurus PPUN 2023-2028
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta -- Organisasi Peternak Pembudidaya Unggas Niaga (PPUN) kini dipimpin oleh Ir. Wismarianto B.A. Beliau secara resmi dilantik sebagai Ketua Umum PPUN di Bogor, Rabu (08/11).
Pada periode 2023-2028, susunan pengurus Organisasi Peternak Pembudidaya Unggas Niaga (PPUN) telah resmi dilantik dan dikukuhkan oleh Direktur Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Bapanas, Maino Dwi Hartono. Acara pelantikan tersebut disaksikan oleh M. Imron, aparat dari Ditjen PKH Kementan.
Setelah pelantikan, dilaksanakan seminar mengenai revitalisasi bahan pakan unggas dan diskusi bebas mengenai kondisi bisnis ayam ras terkini. Dalam sambutannya setelah dilantik menjadi Ketua Umum PPUN, Totok, yang akrab disapa Wismarianto, mengajak seluruh pengurus dan anggota PPUN untuk tetap semangat dan bersatu meskipun kondisi bisnis perunggasan, khususnya ayam ras, sedang sulit saat ini.
Selama lima tahun terakhir, jumlah peternak mandiri terus berkurang. Sebelum tahun 2009, PPUN memiliki 260 anggota, namun saat ini tinggal sekitar 100 orang. Totok menjelaskan bahwa penurunan ini sangat drastis, dengan banyak anggota yang beralih profesi dan menghadapi masalah hutang.
Dalam situasi yang memprihatinkan ini, Totok menekankan pentingnya persatuan anggota PPUN dan keberlanjutan mata pencaharian mereka sebagai peternak ayam. Dia berjanji akan berupaya untuk meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak terkait, termasuk pengusaha sarana produksi perunggasan, asosiasi perunggasan, dan institusi pemerintah yang terkait dengan kemajuan bisnis perunggasan.
Totok juga menekankan pentingnya kerjasama antara pengusaha besar sarana produksi peternakan dengan peternak kecil. Menurutnya, kesuksesan pengusaha unggas bergantung pada dukungan dari peternak kecil. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana meningkatkan jumlah ribuan peternak UMKM demi kemajuan dunia perunggasan di dalam negeri.
Berikut adalah susunan pengurus PPUN periode 2023-2028:
- Ketua Umum: Ir. Wismarianto B.A
- Sekretaris Jenderal: Kadma Wijaya, SE
- Wakil Sekretaris: I Wayan Suadnyana
- Bendahara: Andri Wiliandri S.E
- Humas dan Kesekretariatan: Bambang Herwindo
Profil Wismarianto
Dibandingkan dengan komoditas ternak lainnya, bisnis di bidang perunggasan di tanah air telah memasuki era industrialisasi dengan pesat. Seluruh segmen bisnis ini terus berkembang secara signifikan, mulai dari teknologi, budidaya, pakan, hingga hilirisasi.
Momentum ini menjadi dorongan bagi Totok, seorang pria kelahiran Madiun, Jawa Timur pada tahun 1966, untuk memulai peternakan broiler (ayam pedaging) di Bogor, Jawa Barat. Dengan pengalaman selama 17 tahun bekerja di salah satu perusahaan peternakan multinasional, di mana ia menjabat sebagai bagian pemasaran di divisi pakan, Totok merasa memiliki bekal yang cukup untuk memulai peternakan mandirinya pada tahun 2007.
Totok, yang akrab disapa oleh banyak orang, mengenang saat-saat awal ketika ia memutuskan untuk menjadi peternak mandiri. "Ketika masih bekerja, saya biasanya mendapat insentif setiap bulan. Namun, setelah menjadi peternak mandiri, insentif itu sudah tidak ada lagi, dan pendapatan saya tergantung sepenuhnya pada hasil budidaya," ucapnya dengan penuh pengalaman.
Namun, keputusan untuk menjadi peternak telah membuka peluang baginya untuk menyalurkan kreativitas dan berekspresi dengan menerapkan ilmu yang didapat langsung dari masa kuliahnya. "Meskipun memulai usaha dengan populasi yang awalnya terbilang kecil, tetapi pengalaman ini sangat memuaskan bagi saya," ucapnya yang merupakan lulusan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bagi Totok, menjadi peternak mandiri melambangkan kemerdekaan yang memungkinkannya untuk membuat keputusan sesuai keinginan. Dalam budidaya ayam, ia memiliki kebebasan untuk memilih sumber pakan dari berbagai pabrikan dan mendapatkan DOC (ayam umur sehari) dari berbagai perusahaan pembibitan. Hal ini berbeda dengan model kemitraan, di mana peternak akan terikat dengan satu perusahaan tertentu yang menyediakan segala sarana produksi ternak (sapronak).
Di tengah fluktuasi kondisi bisnis perunggasan nasional, terutama dalam bisnis broiler, Totok telah mengembangkan beberapa strategi agar usahanya tetap bertahan dan berkelanjutan. Sebagai seorang peternak mandiri, dia telah belajar untuk beradaptasi dengan fokus utama pada efisiensi dalam budidaya. "Saya sudah memiliki closed house, meskipun kapasitasnya hanya mencakup 10 persen dari jumlah populasi ayam yang saya miliki. Jika kondisi bisnis perunggasan membaik, saya berencana untuk menambah jumlah closed house di masa mendatang," ungkapnya.
Salah satu strategi penting lainnya adalah kemampuan untuk mengatur waktu panen dengan bijak. Jika perusahaan integrasi cenderung menjual ayam dalam ukuran besar (di atas 1,4 kg per ekor), peternak mandiri seperti Totok akan memilih untuk panen ayam dalam ukuran lebih kecil (di bawah 1,4 kg per ekor).
"Yang paling utama adalah melihat momentum saat DOC masuk kandang. Saya menyebutnya sebagai strategi 'hit and run', di mana saya mengamati waktu panen yang bersamaan dengan momen tertentu atau sebaliknya. Jika momennya bersamaan, saya akan membawa masuk lebih banyak DOC, tetapi jika sebaliknya, saya akan meminimalkan DOC yang masuk agar siklus produksi tetap berjalan rutin. Saat ini, jumlah populasi ayam saya mengalami penurunan sekitar 30 - 50% karena ini adalah langkah untuk bertahan," jelas Totok.
Jika melihat dari pengalaman seorang peternak, masa beternak ayam dari tahun 2007 hingga 2011 dianggapnya sebagai periode yang masih nyaman untuk beternak. Pada masa itu, tugas utama peternak rakyat dan mandiri adalah berbudidaya dan memasarkan ayam ke pasar, sedangkan perusahaan integrasi hanya menjual sarana produksi seperti DOC dan pakan. Bahkan, jika mereka berbudidaya, hanya untuk keperluan penelitian, sehingga semua pihak terlibat dalam bisnis perunggasan di Indonesia.
Namun, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, fondasi dari peternakan rakyat dan mandiri dalam industri perunggasan runtuh. Pasalnya, UU tersebut mengizinkan perusahaan integrasi untuk berbudidaya secara menyeluruh dan memasarkan produknya di dalam negeri. "Dengan praktik budidaya besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan integrasi, terjadi persaingan yang sengit dalam penjualan ayam hidup di pasar tradisional. Kondisi inilah yang membuat peternak rakyat dan mandiri semakin terdesak," ungkapnya.
Menurutnya, mengingat situasi perunggasan saat ini, sangat penting untuk melakukan segmentasi pasar. Meskipun sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 32/Permentan/PK.230/9/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi, implementasinya di lapangan masih belum berjalan dengan baik dan memerlukan ketegasan dari pemerintah. Perusahaan integrasi seharusnya fokus pada pasar horeka (hotel, restoran, dan katering) serta ekspor, sementara peternak rakyat dan mandiri harus memenuhi kebutuhan ayam di pasar tradisional.
Saat ini, situasi perunggasan nasional ibaratnya seperti memasukkan mentimun dan durian dalam satu karung, lalu membawanya ke pasar yang sama. Akibatnya, mentimun, yang melambangkan peternak rakyat, akan hancur terlebih dahulu karena durian (perusahaan integrasi) memiliki daya tahan yang kuat. "Seharusnya keduanya dipisahkan dalam karung masing-masing, dan pemerintah harus bertindak tegas untuk mengatur pasar ini agar tidak berjalan dengan sembrono," tegasnya.