Sabtu, 27 April 2024


Kemerdekaan bagi Petani, Kemerdekaan bagi Kita Semua (3)

21 Agu 2020, 07:05 WIBEditor : Ahmad Soim

Petani Jepang | Sumber Foto: japanesestation.com

Agus Pakpahan - Institutional Economist I www.aguspakpahan.com


 TABLOIDSINARTANI.COM - Pada artikel ke-1 dan ke-2 telah disampaikan uraian tentang evolusi pertanian di Amerika Serikat sejak 1860 hingga sekarang.  Kesimpulannya adalah bahwa kemajuan dalam bidang industri dan jasa atau kita sederhanakan dengan kata industrialisasi telah memberikan dampak positif terhadap tingkat kehidupan petani dan penduduk Amerika Serikat sekaligus.  Walau jumlah penduduk Amerika Serikat  meningkat dalam jumlah yang besar ternyata, luas areal usahatani per petani juga meningkat pesat. 

Bukan hanya itu, tingkat pendapatan petani dan tingkat pendapatan masyarakat Amerika Serikat pada umumnya juga meningkat pesat.  Di luar dugaan pada umumnya ternyata juga pendapatan per petani di Amerika Serikat lebih tinggi daripada pendapatan per kapita rata-rata nasional. 

Fenomena pendapatan petani yang lebih tinggi dari pada pendapatan rata-rata nasional menjadi semakin menarik mengingat sebagian besar pendapatan petani tersebut bukan diperoleh dari hasil usahataninya melainkan diperoleh dari Negara. 

Dalam memandang pengeluaran Negara untuk meningkatkan pendapatan petani tersebut, penulis lebih suka menggunakan istilah bahwa Negara membelanjakan dana tersebut untuk memperoleh kelimpahan pangan (surplus) dan kepastian (certainty) masa depan akan sumber pangan dan sumberdaya lainnya yang disediakan oleh petani dan pertanian dibandingkan dengan menggunakan istilah subsidi. 

BACA JUGA:

Kemerdekaan bagi Petani, Kemerdekaan bagi Kita Semua (1)

Kemerdekaan bagi Petani, Kemerdekaan bagi Kita Semua (2)

Panganmu adalah Indonesiamu

>Korporatisasi Petani Sebagai Strategi Besar Pembangunan Infrastruktur Sosial Ekonomi Bangsa

Bagaimana dengan kondisi Jepang?  Jepang merupakan satu dari banyak bangsa-bangsa Asia yang telah menunjukkan keunikan tersendiri.  Di antara keunikannya itu, yang paling penting adalah Jepang telah menjadi negara industri pertama bagi bangsa-bangsa Asia.  Artikel singkat ini hanya ingin menyoroti satu hal saja yaitu apa dampak kesuksesan industrialisasi Jepang terhadap pertanian dan kehidupan petani di Jepang seperti dampaknya terhadap luas areal usahatani per petani dan pendapatan rata-rata petani Jepang.

Pada tahun 1950 jumlah penduduk Jepang adalah sekitar 82.8 juta jiwa. Pada tahun 1970 penduduk Jepang jumlahnya meningkat menjadi 104,9 juta jiwa, atau meningkat sebanyak 22,1 juta jiwa.  Adapun pada tahun 1999, penduduk Jepang hanya meningkat menjadi 127,3 juta jiwa atau meningkat 22.4 juta jiwa. Pada tahun 2019, jumlah penduduk Jepang turun menjadi 126,8 juta jiwa.  Jumlah penduduk Jepang terbanyak terjadi pada tahun 2009, yaitu 128,5 juta jiwa.  Jepang merupakan negara Asia yang sudah mengalami penurunan jumlah penduduknya (https://www.macrotrends.net/countries/JPN/japan/population-growth-rate).

Pola perubahan aspek kependudukan Jepang seperti di atas merupakan resultante  dari interaksi banyak hal, khususnya proses perubahan struktur ekonomi Jepang yang berkaitan dengan cepatnya proses industrialisasi di Negeri Matahari Terbit ini.  Walaupun jumlah penduduk Jepang ini meningkat relatif tinggi sampai dengan tahun 2009, ternyata kenaikan jumlah penduduk dari 1950 ke 2009 sebesar 45,7 juta jiwa atau meningkat sebesar 55.2 persen relatif terhadap jumlah penduduk tahun 1950 itu, tidak menyebabkan luas lahan usahatani per petani menggurem. 

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa perkembangan luas areal usahatani per petani di Jepang, yang digolongkan ke dalam dua kategori wilayah pertanian yaitu Hokkaido dan di luar Hokkaido, telah meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk sebagaimana diuraikan di atas.  Peningkatan luas areal di Hokkaido tampak mencolok yaitu luas lahan usahatani per petani meningkat dari sekitar 4 hektar per petani pada 1965 menjadi 16.45 hektar pada tahun 2005. 

Jadi, selama 40 tahun telah terjadi peningkatan luas lahan usahatani per petani di Hokkaido seluas empat kali lipat dari periode awal (1965).  Sedangkan kasus peningkatan luas areal di luar wilayah Hokkaido dalam periode yang sama, walaupun luasannya tidak bertambah seluas yang terjadi di Hokkaido, luas lahan usahatani per petani telah meningkat 1,2 kali lebih luas dibanding luasan per petani pada tahun 1965.  Apabila luasan lahan usahatani tersebut dikaitkan dengan komoditas usahatani yang diusahakan para petani Jepang tersebut gambarannya juga tetap meningkat.  Misalnya, luas usahatani padi meningkat dari 0.58 hektar (1965) menjadi 0.96 hektar (2005).

Perubahan struktur ekonomi Jepang sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1 merupakan penjelas mengapa luasan lahan usahatani para petani di Jepang meningkat walaupun jumlah penduduknya meningkat juga.  Pangsa nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Pertanian pada tahun 1960 sudah berada di bawah 10 persen dengan pangsa tenaga kerja pertanian masih berapa dapa posisi sekitar 27 persen. 

 Pada tahun 2005, pangsa PDB pertanian dalam PDB nasional sudah berada pada posisi sekitar 2 persen dan pangsa tenaga kerja pertanian sudah menjadi sangat kecil yaitu sekitar 3 persen.  Secara kasar dapat diperkirakan bahwa setiap penurunan PDB pertanian dalam PDB nasional 1 persen, tenaga kerja pertanian berkurang sekitar 3,4 persen. Gambaran ini menunjukkan suatu proses transformasi ekonomi sebagai hasil dari industrialisasi yang sangat cepat telah terjadi di Jepang.

Bagaimana dengan perubahan tingkat pendapatan petani Jepang di dalam gelora industrialisasi yang sangat cepat tersebut?

Walaupun data pada Tabel 2 merupakan data yang sudah lama, data tersebut masih dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena yang sedang kita pelajari.  Sama dengan kasus di Amerika Serikat, ternyata para petani Jepang pun selain luas areal usahatani atau komoditas yang diusahakannya meningkat, pendapatannya selain meningkat juga relatif lebih tinggi daripada pendapatan penduduk Jepang yang bekerja di luar pertanian.  Demikian pun dengan sumber pendapatan petani Jepang yang semakin kecil berasal dari kegiatan usahatani dan semakin besar bersumber dari kegiatan di luar usahatani. 

Pelajaran apa yang bisa kita tarik dari kasus Jepang ini?  Sama dengan pelajaran yang bisa kita tarik dari pengalaman Amerika Serikat yaitu bahwa pertanian merupakan landasan untuk berkembangnya industrialiasi.  Keberhasilan transformasi dari pertanian ke industri merupakan fase peralihan yang menentukan apakah suatu bangsa akan sukses atau tidak dalam proses pembangunan selanjutnya.  Guremisasi tidak akan terjadi apabila pola perkembangan industrialisasi berjalan sebagaimana telah terjadi di Jepang atau Amerika Serikat.  Proses transformasi ekonomi Jepang terjadi sangat cepat dengan laju perubahan sekitar setiap penurunan PDB pertanian dalam PDB nasional 1.0 persen diikuti oleh penurunan tenaga kerja pertanian sekitar 3,4 persen. 

Indonesia perlu fokus mencari peluang agar bisa melakukan proses transformasi semacam itu apabila proses guremisasi petani dengan segala dampak negatifnya ingin diselesaikan.

 Merdeka!

 

 

 

 

BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018