Peternak ayam | Sumber Foto:ILUSTRASI
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Mahalnya harga pakan menjadi persoalan bagi kaum peternak unggas di dalam negeri, khususnya peternak rakyat. Gejolak harga jagung yang menjadi bahan baku pakan, langsung membuat peternak meradang. Karena itu, harus ada solusi permanen menyelesaikan persoalan yang kerap terjadi tersebut.
Bagi pengusaha peternakan broiler yang juga Direktur PT Rumput Ilalang Hijau, Heri Irawan, yang terpenting harga pakan bisa murah. Saat ini, peternak membeli jagung hingga Rp 7.000/kg, sedangkan pakan jadi mencapai Rp 9.000-10.000/kg. Dengan harga ayam hidup (livebird/LB) tidak stabil di bawah Rp 20 ribu/kg, sementara harga pakan dan bahan baku pakan melambung, tentu peternak dihadapkan pada situasi yang cukup berat.
Saat ini, harga pokok produksi (HPP) ayam broiler sudah di atas Rp 20 ribu/kg. Artinya peternak dengan harga LB seperti saat ini sudah rugi sekitar Rp 2.000-3.000/kg. Menyiasati kondisi tersebut, Heri menjual ayam dalam bentuk karkas yang sudah dibekukan (frozen).
Harga Jagung
Sebelumnya, wacana impor jagung pakan ternak mengemuka dalam rapat Komisi IV DPR dengan pemangku kepentingan di sektor pangan, khususnya jagung. Keterbatasan pasokan jagung berdampak pada merembetnya peningkatan impor gandum untuk pakan ternak. Berdasarkan Panel Harga Badan Pangan Nasional, rerata nasional harga jagung di tingkat peternak Rp 6.770/kg pada 26 September 2023.
Belakangan ini jagung tengah ramai diperbincangkan karena ditenggarai menjadi faktor penyebab kenaikan harga pakan. Pasalnya, penggunaan jagung dalam formulasi pakan berkisar 40-50%. Harus diakui bisnis emas pipilan ini memang cukup menggiurkan. Suplai jagung yang masih kurang buat industri pakan unggas menjadi salah satu sumber cuan yang tidak bisa diabaikan.
Koordinator Jagung dan Serealia Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Indra Rohmadi mengatakan, total kebutuhan jagung di dalam negeri sebanyak 16,9 juta ton. Sedangkan kebutuhan untuk bahan baku pakan mencapai 12,8 juta ton, termasuk untuk pabrik pakan skala besar anggota Gabungan Perusahaan Pakan Ternak (GPMT) sekitar 8 juta ton. Sedangkan pabrik pakan skala kecil atau menengah hanya 4,7 juta ton, selanjutnya untuk benih sekitar 85.000 ton dan untuk bahan bahan lainnya.
“Jadi pengguna jagung terbanyak itu di industri pakan bisa sampai 75,63% atau rata-rata penggunaan jagung untuk pakan sekitar 700.000 ton per bulan,” katanya. Adapun lanjut Indra, kebutuhan pakan peternak layer (petelur) relatif stabil dari Januari sampai Desember sekitar 700.000 ton setiap tahun.
Indra mengakui, kondisi produksi jagung di dalam negeri fluktuatif. Pada periode Januari-Maret, produksi sangat tinggi, tapi kemudian turun pada bulan-bulan selanjutnya. Padahal posisi permintaan atau kebutuhan dari pakan itu sendiri stabil (flat). “Nah ini yang menyebabkan kita kadang kekurangan jagung pada periode tertentu. Memang Januari, Februari, Maret menjadi penopang produksi jagung kita untuk bisa bertahan satu tahun,” katanya.
Kementerian Pertanian telah membuat peta produksi. Untuk yang hujau (surplus) berada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Gorontalo Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Sedangkan daerah kuning di luar sentra adalah Kalimantan Timur. Adapun yang produksinya untuk kebutuhan wilayah sendiri (merah) adalah Papua, Papua Barat dan Maluku Utara.
Sementara itu ungkap Indra, lokasi peternak unggas dan pabrik pakan justru hampir 70 persen berada di Jawa. Padahal wilayah yang memasok jagung ada di 12 provinsi besar yakni wilayah Sumatera, Sulawesi, NTT, NTB dan Jawa. ”Ini menjadi suatu kendala. Kita membutuhkan transportasi antar pulau, termasuk juga infrastruktur dan sebagainya,” katanya.