Agar berkelanjutan, Akuakultur meniru konsep blue economy dengan pengelolaan sarat inovasi teknologi
TABLOIDSINARTANI.COM, Bali --- Blue economy (ekonomi biru) yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beberapa tahun silam apabila dilaksanakan dengan baik akan memperkuat pengelolaan potensi akuakultur secara berkelanjutan, produktif dan berwawasan lingkungan.
KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) berharap gagasan blue economy yang diterjemahkan sebagai pembangunan ramah lingkungan berkelanjutan dapat memberikan hasil optimal dan bernilai tambah.
Melalui konsep blue economy, akuakultur akan dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Konsep ekonomi biru juga mampu mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan, karena sistem ekonomi konvensional sudah tidak mampu menyerap konsep hakiki pembangunan berkelanjutan.
Menurut Dirjen Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto, konsep blue economy mengajarkan bagaimana menciptakan produk nir-limbah (zero waste), sekaligus dapat menjawab tantangan kerentanan pangan melalui peningkatan produksi ikan.
“Konsep blue economy juga berkontribusi dalam peningkatan devisa negara melalui peningkatan volum dan nilai ekspor komoditas akuakultur,” ujar Slamet Soebjakto, pada kegiatan Ocean Our Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua Bali, (2/11)
Slamet juga mengatakan, konsep blue economy beperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Sistem blue economy mampu mendorong industrialisasi kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dengan pendekatan ramah lingkungan dan efisien.
“Prinsipnya blue economy bukan hanya environmental friendly, tapi multiple cash flow. Artinya ada keuntungan berlipat secara ekonomi karena limbah bisa jadi nilai ekonomi untuk menghasilkan produk lain, selain itu blue economy harus dapat memperdayakan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja (sosial inklusif),” papar Slamet.
Dalam kesempatan itu, Slamet juga mengatakan, tantangan akuakultur saat ini adalah mencukupi kebutuhan pangan masyarakat dunia ditengah permasalahan penurunan daya dukung lingkungan dan perubahan iklim global.
FAO mencatat hingga tahun 2050 penduduk dunia akan mencapai 9,7 miliar jiwa yang menuntut adanya kebercukupan pangan secara berkelanjutan. FAO juga mempediksi hingga tahun 2030, kontribusi akuakultur terhadap kebutuhan perikanan dunia diperkirakan akan mencapai 58 persen.
Peranan Penting
Menurut Slamet, aplikasi konsep blue economy akuakultur sangat berperan penting dalam pembangunan nasional yang diharapkan menjadi basis utama dalam membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional.
Blue economy akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan porsi besar bagi peran pemberdayaan masyarakat.
Seperti diketahui, blue economy merupakan dinamika pemikiran konsep pembangunan terbaru yang sedang berkembang yang berlandaskan tiga pilar terintegrasi yaitu ekologi, ekonomi dan sosial.
Aplikasi inovasi teknologi akuakultur berbasis blue economy juga sudah dikembangkan KKP. Diantaranya pengembangan teknologi bioflok, sistem minapadi, penerapan recirculating aquaculture system (RAS) serta budidaya rumput laut hasil kultur jaringan.
Slamet mengatakan, pengembangan teknologi bioflok memungkinkan peningkatan produktivitas sebesar 50 – 90 kg/m3, ramah lingkungan, efisien dalam penggunaan lahan dan sumberdaya air hingga 80 persen.
Sedangkan dari aspek sosial-ekonomi, penerapan teknologi ini dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan dan meningkatkan konsumsi ikan nasional.
Sedangkan pengembangan mina padi mampu meningkatjan produksi padi dari 5 – 6 ton/ha/panen menjadi 8 – 10 ton/ha/panen dengan efisiensi pemanfaatan lahan padi hingga 80 persen.
Minapadi menghasilkan padi bebas pestisida (organik) karena pupuk yang digunakan berasal dari sisa metabolisme ikan.
Penerapan RAS pada kegiatan budidaya mampu menggenjot produktivitas hingga 100 kali lipat, efisien dalam penggunaan air dan lahan hingga 80 persen.
Penerapan RAS juga mudah dalam manajemen kualitas air dan dapat dilakukan sepanjang tahun karena pergantian air yang minim.
Sedangkan budidaya rumput laut hasil kultur jaringan memberikan keuntungan dalam menghasilkan rumput laut berkualitas serta dapat dilakukan secara terus menerus (kontinu) dalam skala massal dengan waktu yang relatif singkat.
Teknologi kultur jaringan ini mampu menyediakan bibit rumput laut secara kontinu serta tidak tergantung kondisi alam. Berapa penelitian juga menyatakan bahwa rumput laut berpotensi sebagai penyerap karbon dioksida di udara (carbon sink).
Menurut Slamet, aplikasi inovasi teknologi tersebut akan terus dikembangkan dan diaplikasikan di masyarakat secara masif, sehingga sektor akuakultur dapat menjadi motor penggerak perekonomian.
Karena itu, KKP komitmen untuk berinvestasi dalam dua program. Pertama, pengembangan budidaya ikan sistem mina padi dari tahun 2015 – 2019 sebanyak US$ 3 juta, untuk 963 ha lahan di Indonesia.
Kedua, pengembangan kultur jaringan rumput laut jenis Eucheuma cottonii tahun 2015 – 2019 sebanyak US$ 1,3 ribu secara berlanjutan.