Petani sedang melakukan penanaman padi
TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan setelah kemarau panjang (El Nino), akan terjadi La Nina (hujan berkepanjangan) yang akan dimulai pada Juni, Juli dan Agustus. Karena itu perlu upaya mitigasi yang tegas untuk menekan kerugian petani, khususnya banjir yang akan menerjang lahan pertanian.
Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG, Supari menjelaskan, bahwa puncak musim kemarau 2024 terjadi sekitar Agustus mendatang. BMKG memprediksi pada Mei-September wilayah Indonesia bagian selatan seperti Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur peluang hujannya sangat rendah (kering).
Sedangkan pada Juni-Juli-Agustus, harus diwaspadai sangat kering di Jawa, Bali, NTT, NTB. Untuk Kalimantan, Sulawesi dan Papua, perlu perhatian serius karena Juli-September, curah hujannya diatas normal. “Perkiraan hingga dasarian pertama Mei, untuk wilayah Sumatera masih banyak hujan. Namun untuk wilayah Jawa, Bali dan NTB sudah lebih dari 10 hingga 20 hari tidak ada hujan. Bahkan ada beberapa titik yang sudah lebih dari 20-30 hari tidak ada hujan,” katanya.
Kondisi tersebut menurut Supari menandakan sinyal musim kemarau pada Mei sudah nampak dilihat dari panjangnya hari tidak ada hujan, khususnya Pulau Jawa, Bali dan NTB. Bahkan di beberapa wilayah Jawa Tengah ada yang 30 hari tidak ada hujan. Namun sebagian besar 11-20 hari tidak ada hujan.
Namun ke depan ada indikasi di akhir periode kemarau, karena samudera akan mendingin akan terjadi penyimpangan iklim yang justru mendatangkan hujan di Indonesia. Kondisi itu, menyebabkan fenomena El Nino yang sudah terjadi 1 tahun terakhir akan digantikan La Nina yang menyebabkan terjadinya cuaca ekstrem di Indonesia yang berdampak terjadinya bencana banjir dan longsor.
“Selama El Nino, pola sirkulasi angin dan arus laut mengalami perubahan besar, yang kemudian bisa berbalik ketika El Nino mereda,” ujarnya saat Webinar Pompanisasi, Amankan Musim Kemarau di Jakarta, beberapa waktu lalu.
BMKG memprakirakan, peluang terjadinya La Nina untuk menggantikan El Nino sebesar 60 persen. Sementara 40 persen lainnya, berpeluang fenomena El Nino menjadi kondisi netral, atau tidak terjadi La Nina. Nah, diperkirakan, potensi La Nina untuk menggantikan El Nino terjadi pada periode Juni, Juli, dan Agustus 2024. Meski begitu, kondisi netral diprediksi akan dapat bertahan setidaknya hingga Juli 2024.
“BMKG memperkirakan Mei, sedangkan Juni-Juli masuk La Nina. Artinya, air laut di Samudra Pasific akan lebih dingin dari normalnya, sehingga berdampak pada meningkatnya curah hujan di Indonesia,” katanya.
Di wilayah Indonesia pada periode Juni-Agustus, dampak La Nina ini berupa peningkatan curah hujan mencapai 20-40 persen. Bahkan, beberapa wilayah dapat mengalami peningkatan curah hujan hingga lebih dari 50 persen. “Di Pulau Jawa, September, Oktober, November, curah hujan akan diatas normal dan dampak La Nina akan terasa. Serta berpotensi awal musim hujan 2024/2025 akan maju (waktunya),” sebutnya.
Mitigasi Petani
Supari menambahkan, indeks ENSO sudah mulai beralih ke kondisi Netral dengan indeks sebesar 0.42. Hasil pemantauan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik menunjukkan bahwa pada periode dasarian I Mei 2024, ENSO mulai beralih ke kondisi Netral dengan indeks sebesar 0.42. ENSO diprediksi akan terus berada pada fase Netral hingga Juni-Juli, dan diprediksi beralih ke fase La Nina pada Juli-Agustus 2024.
Karena itu, ia pun mengingatkan petani di Indonesia agar bersiap. Sebab, La Nina umumnya memberikan dampak berupa peningkatan curah hujan di Indonesia, terutama pada periode musim kemarau. "Kondisi ini perlu diantisipasi petani, terutama untuk komoditas pertanian yang sensitif terhadap curah hujan seperti tanaman hortikultura," ujarnya.
Di samping itu, menuruntya, terdapat kajian yang menunjukkan bahwa terdapat potensi meningkatnya gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada akhir musim kemarau di tahun La Nina yang perlu diantisipasi petani.