TABLOIDSINARTANI.COM, Jombang – Talas Beneng memiliki prospek yang menjanjikan, daun dan umbinya bernilai ekonomi tinggi karena semakin besarnya permintaan ekspor. Selain itu, tahan terhadap hama dan mudah dibudidaya menjadi daya tarik Talas Beneng untuk bisa dikebunkan, seperti yang dilakukan Hajar Ahmar di Jombang, Jawa Timur.
Siapa sangka tanaman yang awalnya hanya merupakan tanaman liar yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomis kini menjadi incaran banyak masyarakat untuk dikebunkan. Hampir tidak ada yang terbuang dari tanaman yang satu ini, semua bagian dari mulai pelepah yang bisa digunakan sebagai bahan pakan ternak hingga umbi dan daun Talas Beneng yang laku dijual dengan pasar yang menjanjikan.
Adalah Hajar Ahmar, petani milenial dari Kota Jombang yang tertarik menanam Talas Beneng. Hajar mengatakan potensi besar dari Talas Beneng memikatnya untuk bisa mengkebunkan secara masal. Ada beberapa alasan utama yang pertama karena tanaman ini bandel bisa hidup di kondisi lahan kering, minim pengolahan dan perawatan. Selain itu tidak ditemukannya hama baik itu babi, tikus atau OPT lain yang mengganggu pertumbuhan Talas Beneng.
“Kita sedang fokus pemberdayaan masyarakat, karena produksi Talas Beneng juga digunakan untuk pakan ternak, baik itu unggas, sapi, ayam, kambing dan ikan. Sebenarnya yang motivasi saya adalah faktor ekonomis, yang jadi persoalan di lapangan yang diketahui masyarakat umum daunnya diekspor sebagai pengganti tembakau, sedangkan belum benar-benar dipastikan bisa menggantikan tembakau, makanya yang harus digaris bawahi dan lebih ditelusuri karena banyak simpang siur di luar, karena saya pelaku langsung,” paparnya.
Budidaya Talas Beneng dalam 1 hektar biasanya membutuhkan sekitar 10.000 bibit. Pada usia 4-5 bulan daun tua Talas Beneng sudah mulai bisa dipanen. Sebanyak 3-4 lembar daun tua dengan bobot sekitar 1 kg /daun bisa didapat dari 1 batang Talas Beneng setiap bulannya.
Menurut Hajar budidaya Talas Beneng tidak serumit yang dibayangkan, karena tumbuhan yang satu ini dikenal sebagai tumbuhan yang mudah tumbuh. Bagi yang ingin menanam hanya tinggal menyiapkan lahan, lalu mengolahnya untuk ditambah pupuk kandang.
“Pertumbuhannya juga mudah dan cepat, terpenting perawatan awal pembersihan saja, tanaman ini bisa berumur panjang, umur 6-9 bulan sudah bisa dipanen umbinya, dan di usia 16 bulan bisa menghasilkan umbi raksasa dengan berat hingga 40 kg per pohon, bahkan bisa lebih besar lagi bila dilakukan perawatan dengan pemberian pupuk kompos. Tidak ada yang terbuang sama sekali dari Talas Beneng ini, daun bisa dipanen tiap bulan dan umbi laku dijual bahkan tangkainya bisa kita jual atau memanfaatkan untuk menjadi pakan ternak,” paparnya.
Rendemen umbi Talas Beneng yang dipanen diumur 6-9 bulan sekitar 30 persen, tetapi jika dipanen lebih dari umur tersebut atau hampir usia 2 tahun, maka rendemen yang dihasilkan semakin sedikit, hanya sekitar 10-15 persen.
Umbi Talas Beneng bisa dibuat menjadi tepung, dan dari sana bisa dibuat berbagai produk turunan mulai dari roti, mie, hingga keripik yang kaya akan karbohidrat. Sedangkan untuk pasar ekspor negara tujuan diantaranya Belanda, Jepang, Thailand dan negara Eropa.
“Untuk daunnya diekspor dalam bentuk rajangan kering dengan spesifikasi yang benar-benar ketat, tidak semua petani mampu menerapkan hasil itu, kondisi hujan menjadi kendala dalam penjemuran, proses pengolahan daunnya tidak jauh beda dengan tembakau, dilayukan sampai agak kuning rata, baru diproses perajangan, setelah itu dijemur kurang lebih 23 hari sambil dibolak-balik agar maksimal keringnya, hal ini bertujuan supaya menghasilkan warna atau hasil yang bagus dan tidak lengket,” tambahnya.
Hajar mengatakan, ketika panen raya ia dan timnya mengolah Talas Beneng menjadi pakan ternak dalam bentuk pellet kering. Hal tersebut diakuinya sangat membantu peternak karena bahan baku pakan ternak dari pabrikan harganya selalu naik.
“Beberapa pemahaman masyarakat kalau daun Talas Beneng akan menggeser daun tembakau tidaklah semudah yang dipikirkan orang, apalagi kalau sudah masuk masalah rokok, bagaimana dengan pabrik besar ini yang menjadi masalah, seperti proses merajang daun tembakau misalnya, orang hanya menyebut begini padahal belum tentu seperti itu, akhirnya banyak orang tertarik sehingga problem permasalahan terbesar ada dipemasarannya sendiri,” tuturnya.