TABLOIDSINARTANI.COM, Jakarta---Hama dan penyakit menjadi persoalan tersendiri bagi petani saat musim tanam. Biasanya untuk menghentikan serangan organisme pangganggu tumbuhan (OPT), petani menggunakan pestisida kimia.
Sayangnya kadang dalam mengaplikasikan pestisida kimia kerap berlebihan. Akibatnya, justru membahayakan lingkungan, bahkan membuat hama dan penyakit justru lebih kebal. Guna mengatisipasi kemungkinan terburuk dampak penggunaan pestisida kimia, pemerintah terus mendorong petani menerapkan pertanian yang ramah lingkungan dan budidaya sehat.
Misalnya menggunakan pupuk organik dan pestisida alami. Di beberapa tempat, kesadaran dan minat petani untuk mulai beralih dari penggunaan pestisida kimiawi ke pestisida biologi memang kian meningkat.
Saat webinar Pengendalian OPT Ramah Lingkungan Melalui Pengembangan Pestisida Biologi, Kamis (15/7), Guru Besar Departemen Proteksi Tanaman IPB yang juga Ketua Tim Teknis Komisi Pestisida, Prof Dadang menyatakan dukungannya dalam pengembangan pestisida alami/biologi di tingkat kelompok tani.
Menurutnya, ada beberapa tahapan dalam pemanfaatan produk pertanian yang ramah lingkungan. Produk budidaya tanpa pestisida, penggunaan pestisida biologi, penggunaan pestisida metabolit, penggunaan pestisida sintetis yang bijaksana (GAP).
Selain itu, dalam pengembangan biopestisida diperlukan sejumlah tahapan yang harus dilakukan yaitu skrinning, seleksi proses fermentasi, pengembangan uji hayati, pengujian keamanan, pengembangan formulasi, pengujian hayati lapangan, registrasi, dan pemasaran. “Teknologi-teknologi pembuatan pestisida biologi dapat dipelajari dan dikembangkan,” katanya.
Fermentasi Urine Sapi
Salah satu contoh pengembangan pestisida biologi adalah pemanfaatan fermentasi urin sapi sebagai bahan pengendali (repellent) OPT Tikus pada tanaman padi. Pemanfaatan fermentasi urin sapi plus rempah-rempah tersebut merupakan hasil temuan Petugas Pengendali OPT di Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik, Jawa Timur atas nama Achmad Soche.
“Penggunaan pestisida biologi seperti yang dilakukan di Jawa Timur dengan pemanfaatan teknologi fermentasi urin sapi perlu diapresiasi dan didorong, meski untuk efektifitasnya bisa diuji kembali,” tuturnya.
Dadang mengakui, pengendalian tikus menggunakan fermentasi urin sapi plus adalah cara dirinya membantu petani melepas ketergantungan pada cara pengendalian yang kurang ramah lingkungan dan berbahaya seperti racun tikus dan perangkap listrik. Apalagi fermentasi urin sapi (ferinsa) plus mudah direplikasi petani dengan tingkat kerumitan rendah, ramah lingkungan, biaya murah dan memberikan dampak luas.
Kepala UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur, Irita Rahayu Aryati merasa bangga dan senang atas temuan inovatif salah satu POPTyang bertugas di Kabupaten Gresik tersebut. “Sangat bangga atas temuan inovatif POPT kami, Bapak Achmad Soche berupa fermentasi urin sapi yang digunakan sebagai bahan pengendali OPT tikus,” ujarnya.
Menurutnya, pengembangan pestisida biologi merupakan bagian dari peran strategis POPT yaitu sebagai ujung tombak dalam perlindungan tanaman, baik tanaman pangan maupun hortikultura. Terutama akibat gangguan OPT dan Dampak Perubahan Iklim (DPI) dengan penerapan teknologi ramah lingkungan (sistem PHT).
“Peran POPT sangatlah vital dalam mendampingi petani dalam pengamanan produksi pangan, terutama dari potensi kehilangan hasil akibat serangan OPT,” katanya.