TABLOIDSINARTANI.COM, Bogor---Selasa, 11 Desember 2018 akan menjadi bagian sejarah tersendiri bagi Rubiyo. Pria yang lahir, di Gunung Kidul, 11 November 1963 ini meraih puncak sebagai seorang peneliti dan berhak menyandang sebagai seorang Profesor (Riset) di Badan Penelitian Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Dalam orasi pengukuhan Profesor Riset, Rubiyo yang pernah menjabat sebagai Kepala Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri), Sukabumi ini, menyampaikan hasil risetnya mengenai “Perakitan Varietas Kakao Unggul Mendukung Ekspor dan Daya Saing Kakao Indonesia.” Ia menawarkan metode marka molekuler untuk menghasilkan varietas unggul kakao.
Dalam orasinya, bapak enam anak ini mengungkapkan, masalah utama kakao di Indonesia selain rendahnya produktivitas, juga mutu biji kakao yang dihasilkan tergolong rendah di pasaran dunia. “Umumnya kakao yang dijual berupa biji kering tanpa fermentasi,” ujarnya.
Produktivitas kakao juga sangat beragam antar daerah di Indonesia, bahkan cenderung lebih rendah dari pada potensinya yang bisa mencapai 2 ton biji kering/ha/tahun. Rendahnya produktivitas kakao tersebut antara lain karena serangan hama penggerek buah kakao (PBK), penyakit busuk buah kakao (BBK) dan vascular streak dieback (VSD).
“Kondisi itu terjadi karena tanaman kakao rakyat dari sumber benih asalan, sehingga menghasilkan pertumbuhan yang tidak seragam produksi dan mutu biji yang dihasilkan,” katanya.
Menurut peraih gelar doktor bidang agronomi di IPB ini, upaya mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan menanam varietas unggul di lapang. Namun ia mengakui, masalahnya untuk dapat menghasilkan varietas unggul kakao secara konvensional memerlukan waktu yang lama, sekitar 25-30 tahun.
Marka Molekuler
Karena itu upaya percepatan proses pemuliaan terus dilakukan. Salah satu peluang ke arah itu melalui penggunaan marka molekuler. Marka molekuler mampu memfasilitasi percepatan pengembangan varietas unggul baru kakao jika dikombinasikan dengan pemuliaan.
Kemampuan marka molekuler untuk menduga genotipe tanaman dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan keragaman dan potensi genetik individu dalam populasi tanaman yang dievaluasi. Selain itu, dengan mengetahui potensi genetik, dapat dipilih tetua yang diinginkan untuk perakitan dan penyediaan varietas unggul baru kakao di Indonesia.
Rubiyo menjelaskan, sejak tahun 2017 penggunaan marka molekuler diarahkan pada upaya penciptaan varietas unggul dengan produktivitas yang tinggi, tahan terhadap hama PBK dan penyakit VSD serta BBK, dengankadar lemak di atas 55 persen dan bobot 1 biji kering di atas 1 gram. “Bila pola ini terus dikembangkan, maka penyediaan varietas unggul akan dapat cepat terpenuhi,” tuturnya.
Rubiyo optimis jika penyediaan benih unggul bisa terpenuhi, maka upaya Indonesia untuk menjadi produsen utama kakao dunia bukanlah mimpi. Bila lahan untuk budidaya kakao bisa ditingkatkan sampai 2 juta ha yang diimbangi dengan penyediaan varietas unggul, dengan produktivitas minimal 1.000 kg/ha/tahun, maka akan meningkatkan produksi kakao nasional menjadi 2 juta ton.
Produksi tersebut akan membuat Indonesia menjadi penghasil kakao nomer satu di dunia dibandingkan dengan Ghana 897.000 ton dan Pantai Gading 1.746.000 ton. Saat ini luas lahan kakao di Indonesia sekitar 1,7 juta ha dengan produksi hanya 637.918 ton.