Kantor BBPP Kupang
Kupang --- NTT (Nusa Tenggara Timur) dikenal dengan potensi alamnya yang kaya. Namun, tantangan kemiskinan, stunting, dan iklim kering menjadi penghalang untuk menjadikannya pusat ekonomi berbasis pertanian dan peternakan.
Untuk menghadapi berbagai tantangan tesebut Kepala Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) Kupang, Indra ZR, menjelaskan berbagai langkah strategis yang dapat mendorong NTT ke arah yang lebih baik.
“Potensi lokal seperti sukun dan lainnya harus dikembangkan. Namun, tantangan kita ada di hilirisasi. Kalau produk jadi, siapa yang akan membeli? Bagaimana proses produksinya?” ujar Indra.
Ia menyebut pentingnya pengolahan pangan berbasis lokal agar produk NTT bisa bersaing. Contohnya adalah sorgum, salah satu komoditas unggulan yang dapat mendukung kebutuhan pangan sehat.
Namun, sorgum masih kurang dimanfaatkan secara maksimal karena kebiasaan masyarakat yang belum menjadikannya alternatif utama.
“Kolaborasi antar-dinas sangat penting. Misalnya, Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk pasar, serta Dinas Kesehatan untuk memastikan produk pangan lokal aman. Kita harus memastikan nilai ekonomisnya tinggi agar petani tetap termotivasi menanam,” tegasnya.
Pada kesempatan tersebut, Indra juga menjelaskan peternakan merupakan salah satu sektor utama NTT, dengan sapi Bali sebagai ikon. Dahulu, NTT dijuluki Nusa Ternak karena padang penggembalaan yang luas. Namun, situasi saat ini berubah.
“Lahan penggembalaan terus berkurang karena pembangunan perumahan dan kawasan industri,” kata Indra.
Iklim juga menjadi tantangan besar. Musim kering yang panjang membuat ketersediaan pakan sangat terbatas, terutama saat sapi sedang hamil.
Hal ini berdampak pada tingginya angka kematian anak sapi. Selain itu, bobot sapi juga menjadi isu serius. Perdagangan antarpulau mensyaratkan berat minimal 250 kilogram per ekor, namun banyak sapi lokal tidak memenuhi standar ini.
BBPP Kupang berfokus pada inovasi pakan dan pengelolaan peternakan untuk mengatasi masalah ini.
“Kami mengembangkan demplot pakan dan kandang modern agar peternak bisa memanfaatkan lahan secara optimal. Fokus kami adalah bibit unggul, pakan, kesehatan hewan, hingga pelatihan peternakan,” tambahnya.
Selain sapi, BBPP juga melatih masyarakat mengelola peternakan kambing, ayam, dan babi.
Stunting masih menjadi persoalan besar di NTT. Melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG), BBPP Kupang mengusulkan pendekatan holistik yang tidak hanya menyehatkan anak-anak, tetapi juga membangun kemandirian ekonomi masyarakat.
“Semangatnya adalah menciptakan siklus produksi di NTT, mulai dari bahan baku hingga produk jadi. Bahan lokal seperti telur, ikan, dan hortikultura harus dimanfaatkan. Kalau semua didatangkan dari luar, biayanya tinggi. Tapi kalau lokal, kita dapat nilai tambah,” ujar Indra.
Dalam program ini, BBPP bekerja sama dengan Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) dan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa).
Hasil pertanian lokal akan diserap oleh BUMDes untuk didistribusikan ke pasar atau digunakan dalam program makan bergizi.
“Kami ingin program ini tidak hanya fokus pada konsumsi, tetapi juga membuka peluang usaha bagi masyarakat,” tambahnya.
Menurut Indra, regenerasi petani menjadi tantangan besar. Populasi petani terus menua, sementara generasi muda belum banyak tertarik ke sektor ini.
“Kita ingin petani milenial mulai gemar bertani dengan cara modern. P4S bisa menjadi tempat pelatihan, dengan teknologi sederhana seperti budidaya lele dalam drum plastik atau hidroponik di pekarangan,” jelasnya.
Kolaborasi antara P4S, BUMDes, dan pemerintah desa menjadi kunci sukses program ini. Dengan dana desa yang wajib menyisihkan 20% untuk ketahanan pangan, potensi pertanian lokal bisa lebih dimaksimalkan.
Misalnya, hasil pekarangan seperti jagung, sawi, atau kangkung bisa diolah dan dijual oleh BUMDes.
“Kami sedang mendesain model ini agar menjadi solusi stunting dan kemiskinan. Dengan pendampingan, petani lokal bisa menghasilkan produk bernilai tinggi seperti dendeng, sei, atau makanan berbasis sorgum yang sehat dan mudah dipasarkan,” ujar Indra.
NTT dikenal sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Indra menyebutkan bahwa pengembangan sektor lokal adalah jalan keluar terbaik.
“Setiap hari tanam, setiap hari panen. Ini bukan sekadar konsep, tetapi peluang nyata. Potensi NTT sangat besar, tinggal bagaimana kita mengelolanya dengan tepat,” tegasnya.
Salah satu contoh sukses adalah upaya diversifikasi pangan yang memanfaatkan bahan lokal seperti jagung, labu, daun kelor, hingga bunga pepaya.
Indra menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mencapai tujuan ini.
“Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat adalah kunci. Penyuluh di kabupaten/kota harus aktif mengedukasi petani, sementara desa fokus pada dana desa untuk mendukung ketahanan pangan,” jelasnya.
Dengan berbagai program pelatihan dan kolaborasi yang telah berjalan, BBPP Kupang optimistis NTT bisa menjadi pusat pengembangan pertanian dan peternakan.
Inisiatif seperti MBG dan pelatihan P4S diharapkan menjadi katalis perubahan.
“Kita bergerak di pengembangan sumber daya manusia. Petani, peternak, dan penyuluh adalah aktor utama. Dengan program-program ini, kami yakin NTT bisa keluar dari jerat kemiskinan dan stunting. Semua pihak hanya perlu bersinergi,” pungkas Indra.