Penyuluh pertanian sering terjebak dalam "split priority" akibat tarik-menarik kebijakan antar tingkat pemerintahan, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) setuju dengan langkah penarikan penyuluh ke pusat.
TABLOIDSINARTANI.COM, Semarang -- Penyuluh pertanian sering terjebak dalam "split priority" akibat tarik-menarik kebijakan antar tingkat pemerintahan, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) setuju dengan langkah penarikan penyuluh ke pusat.
Penyuluhan pertanian memainkan peran yang sangat vital dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan ketahanan pangan di Indonesia.
Seiring dengan berbagai tantangan yang dihadapi sektor pertanian, peran penyuluh pertanian semakin penting.
Namun, kondisi yang dihadapi oleh penyuluh pertanian di lapangan sering kali terhalang oleh berbagai hambatan yang terkait dengan kebijakan yang tidak konsisten antara pemerintah pusat dan daerah, kepentingan politik lokal, serta ketidakmerataan dalam implementasi regulasi yang berlaku.
Menanggapi permasalahan ini, Achmad Baihaqi, STP, Ketua DPP IASN-PPPK PPI dan Sekjen DPW PERHIPTANI Jawa Tengah ini memberikan pandangannya terkait dengan wacana penarikan penyuluh pertanian ke pusat.
Dalam pernyataannya, Achmad Baihaqi mengungkapkan bahwa ide ini sebenarnya sudah pernah dia usulkan pada era Kabinet Indonesia Maju jilid I ketika Menteri Pertanian dijabat oleh Amran Sulaiman.
Menurutnya, penarikan penyuluh pertanian ke pusat adalah langkah strategis yang bisa memperbaiki sistem penyuluhan pertanian di Indonesia.
Achmad Baihaqi mengungkapkan bahwa masalah utama yang dihadapi oleh penyuluh pertanian adalah sering terjadinya tarik-menarik kepentingan antara program-program yang ada di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.
Hal ini menciptakan kebingungan dan menyebabkan penyuluh mengalami "split priority" atau prioritas yang terpecah.
Penyuluh harus bekerja dengan mengikuti kebijakan yang datang dari berbagai tingkat pemerintahan, yang kadang kala tidak selaras satu sama lain.
Misalnya, program yang ada di tingkat kabupaten atau kota belum tentu sejalan dengan kebijakan di tingkat provinsi atau pusat, sehingga penyuluh sering kali terjebak dalam dilema antara kebijakan yang berbeda-beda tersebut.
"Sering terjadinya tarik menarik kepentingan antara program yang ada di dinas pertanian Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat, sehingga penyuluh pertanian mengalami 'split priority'," ungkap Achmad Baihaqi.
Dengan kondisi semacam ini, tidak jarang penyuluh terhambat dalam menjalankan tugas mereka secara efektif dan efisien, karena mereka harus memprioritaskan program-program yang mungkin tidak saling mendukung.
Oleh karena itu, penarikan penyuluh ke pusat dianggap bisa mengurangi kebingungan ini dan menciptakan fokus yang lebih jelas dalam pelaksanaan tugas mereka.
Selain itu, penyuluh pertanian sering terjebak dalam kepentingan politik lokal yang sangat kental.
Tingginya tingkat kepentingan politik di daerah, menurut Baihaqi, sering kali mempengaruhi objektivitas penyuluh dalam menjalankan tugasnya.
Ketika kepala daerah lebih fokus pada agenda politiknya, peran penyuluh sebagai aparat yang seharusnya profesional sering kali tergeser oleh dinamika politik lokal.
Hal ini tidak hanya mengurangi efektivitas penyuluhan, tetapi juga membuat penyuluh terjebak dalam pusaran politik yang memengaruhi kinerja mereka di lapangan.
"Sebagai contoh, jika Kepala Daerah berasal dari kelompok pertanian, maka sektor pertanian dan keberadaan penyuluh akan sangat diperhatikan, namun jika bukan, perhatian terhadap sektor ini akan sangat minim," kata Baihaqi.
Dalam situasi ini, penyuluh tidak bisa mengandalkan kewenangan atau kebijakan dari pemerintah daerah karena kebijakan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh politik lokal.
Keberadaan penyuluh menjadi sangat tergantung pada siapa yang memimpin daerah tersebut, yang tentu saja merugikan sektor pertanian secara keseluruhan.
Penarikan penyuluh ke pusat akan membantu menghilangkan ketergantungan ini, sehingga mereka bisa bekerja lebih fokus tanpa terpengaruh oleh dinamika politik daerah.
Perbedaan Persepsi
Perbedaan persepsi dalam penerapan regulasi juga menjadi masalah yang cukup serius.
Sebagai contoh, ada kebijakan PP 49 Tahun 2018 dan Perpres 98 Tahun 2019 yang mengatur tentang Manajemen ASN PPPK dan tunjangan fungsional penyuluh.
Namun, implementasi kebijakan ini berbeda-beda di tiap daerah.
Beberapa daerah sudah menerapkan kebijakan ini dengan memberikan Tunjangan Penghasilan Pekerja (TPP), tunjangan fungsional khusus, serta kenaikan gaji berkala.
Namun, ada pula daerah yang baru menerapkan sebagian kebijakan ini, bahkan ada yang belum melaksanakannya sama sekali.
Ketidakmerataan dalam implementasi kebijakan ini tentu saja menciptakan ketidakadilan antar daerah yang berdampak pada kinerja dan motivasi penyuluh di lapangan.
"Hal ini menyebabkan kecemburuan antara daerah yang sudah melaksanakan kebijakan tersebut dengan daerah yang belum, dan hal ini berdampak pada kinerja penyuluh," jelas Baihaqi.
Ketidakmerataan dalam hal kesejahteraan ini berimbas pada kualitas penyuluhan yang diberikan kepada petani, karena penyuluh yang merasa tidak diperhatikan cenderung kurang termotivasi untuk bekerja maksimal.
Oleh karena itu, menurut Baihaqi, penarikan penyuluh ke pusat dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil bersifat lebih merata dan adil, tanpa ada perbedaan yang mencolok antar daerah.
Dukungan Penyuluh
Tidak hanya itu, Achmad Baihaqi juga menyoroti pentingnya keberadaan penyuluh pertanian dalam mendukung program pemerintah pusat, terutama dalam hal ketahanan pangan.
Program pemberian makan siang gratis untuk siswa SD, SMP, dan SMA membutuhkan penyediaan bahan pangan yang cukup dan berkualitas.
Penyuluh pertanian, yang memiliki peran penting dalam mendampingi petani untuk meningkatkan produksi pangan, sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan program tersebut.
Penyuluh harus memastikan bahwa bahan pangan seperti beras, sayuran, buah-buahan, daging, telur, dan susu dapat diproduksi dengan jumlah dan kualitas yang memadai.
"Peran penyuluh pertanian sangat penting dalam mengawal produksi pangan yang dibutuhkan untuk mendukung program-program pemerintah pusat, seperti pemberian makan siang gratis bagi siswa," kata Baihaqi.
Dalam hal ini, keberadaan penyuluh yang terkoordinasi dengan baik dan memiliki akses langsung kepada petani akan membantu memastikan bahwa pasokan pangan dapat memenuhi kebutuhan nasional, sekaligus mendukung program pemerintah yang bertujuan meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia.
Selain itu, krisis pangan global yang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal, seperti ketegangan di Timur Tengah, serangan hama dan organisme pengganggu tanaman (OPT), serta perubahan iklim yang semakin tidak terduga, semakin memperparah kondisi ketahanan pangan di Indonesia.
Dalam menghadapi tantangan ini, kehadiran penyuluh pertanian sangat diperlukan untuk mendampingi petani agar bisa terus meningkatkan produksi pangan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Penyuluh berperan dalam memberikan edukasi, bimbingan teknis, dan solusi terhadap masalah yang dihadapi petani.
"Di tengah krisis pangan global dan perubahan iklim yang semakin parah, kehadiran penyuluh pertanian menjadi semakin penting untuk memastikan kedaulatan pangan nasional tetap terjaga," tegas Baihaqi.
Penyuluh harus bisa memberikan pendampingan yang optimal kepada petani agar mereka bisa tetap produktif meskipun menghadapi tantangan yang semakin kompleks.
Tanpa dukungan dari penyuluh yang handal, upaya mencapai kedaulatan pangan akan semakin sulit.
Secara keseluruhan, Achmad Baihaqi menggarisbawahi betapa pentingnya penarikan penyuluh pertanian ke pusat untuk menciptakan sistem penyuluhan yang lebih terorganisir, adil, dan efisien.
Penyuluh yang bekerja langsung di lapangan perlu mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah pusat untuk menghadapi tantangan yang ada, baik itu terkait kebijakan, politik, maupun krisis pangan global.
Dengan demikian, sektor pertanian Indonesia dapat berkembang secara optimal, dan ketahanan pangan nasional dapat terwujud dengan lebih baik.