Minggu, 18 Mei 2025


Pertanian Sehat dan Ramah Lingkungan ala Ediyanto  

12 Jul 2021, 12:42 WIBEditor : Yulianto

Ediyanto dengan produk pupuk organik dan agens hayati produksinya

TABLOIDSINARTANI.COM, Malang ---Melihat kondisi lahan pertanian yang kian rusak akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia, mendorong Ediyanto memproduki pupuk organik dan agens hayati. Apalagi di kota tempatnya tinggal, Kota Batu mencanangkan Go Organik.

Dengan latar belakang itu, Ediyanto beruaha menerapkan pertanian organik untuk menjawab permasalahan penggunaan pupuk kimia dan pestisida sintetik. Selama ini kecenderungan petani memakai pupuk kimia berlebihan dan tidak berimbang, serta pestisida sintetik yang tidak terkendali.

Dalam jangka waktu lama jika dibiarkan akan berakibat buruk terhadap lingkungan, tanah dan tanaman itu sendiri. Untuk mengendalikan dampak buruk penggunaan pupuk dan pestisida tersebut sintetik, petani harus diberikan edukasi tentang budidaya tanaman sehat dan ramah lingkungan.

Awalnya saya masih belum terpikirkan bertani organik, yang penting tanahnya dipupuk dulu, karena sampai sekarang masih konvensional dan petani masih mengandalkan pupuk kimia,” katanya.

Edi bercerita dirinya dan petani lain kemudian mencoba membuat pupuk organik. Awal pengelolaannya secara swadaya saat Kota Batu go organik tahun 2012. Dengan modal ternak kambing, ia kemudian memproduksi pupuk organik, setelah mendapat penyuluhan dari Dinas Pertanian tentang fermentasi.

“Awalnya saya hanya mencoba mengolah sendiri, ternyata banyak pesanan dari teman-teman petani. Petani banyak yang mulai sadar bertani ramah lingkungan dan merasakan manfaatnya, penggunaan pupuk organik bagi tanah menjadi semakin bagus dan perawatannya lebih mudah,” tuturnya.

Pupuk Organik ala Edi

Edi menjelaskan, bahan membuat pupuk organik berupa kotoran kambing, sapi dan kelinci. Namun untuk kotoran ayam menurut Edi, belum ada rekomendasi karena masih banyak suntikan bahan kimia. “Bahan-bahan pupuk organik bukan hanya kotoran hewan, tetapi sisa-sisa tanaman, daun-daunan sebetulnya juga baik,” ujarnya.

Untuk bahan-bahan tersebut, Edi mengaku dirinya tak mengalami kesulitan. Sebab, ia memelihara kambing, tapi terkadang juga membeli bahannya dari peternak. “Saya juga menggunakan tanaman pertanian lainnya yang dikumpulkan untuk difermentasi,” katanya.

Untuk fermentasi Edi mengatakan, menggunakan decomposer, mikro organisme lokal (MOL) yang diajarkan penyuluh pertanian. Ia juga menggunakan mikro organisme lokal  hasil fermentasi gula aren yang dicampur dengan buah-buah, sayuran, serta air bekas cucian beras.

“Bahan-bahan tersebut dimasukkan dalam wadah secara tertutup selama 14 hari. Alasan saya menggunakan air beras, karena kandungan karbohidratnya tinggi sebagai bahan makanannya. Air beras itu saya saring,” paparnya.

Bahan organik menggunakan komposisi 60 persen kotoran kambing dan 40 persen berupa sisa-sisa tanaman. Dari hasil uji, ternyata banyak komposnya itu juga bagus.

Edi melakukan fermentasi di dalam rumah kompos. Bahan-bahan tersebut ditumpuk kira-kira setinggi 60 centimeter, selanjutnya disiram dengan decomposer. Kemudian ditutup rapat dengan plastik terpal atau banner bekas.

Setelah satu minggu dibuka untuk mengetahui suhunya. Jika terlalu panas di atas 40 derajat harus dibuka dulu dan dibiarkan kira-kira 1 jam baru ditutup kembali. Sedangkan jika suhunya dibawa 40 berarti sudah normal.

“Sesudah masa fermentasi selesai sebagai langkah selanjutnya akan dicacah halus menggunakan mesin pencacah pupuk organik dan dikemas dalam karung untuk didistribusikan,” ungkapnya.

Edi juga membuat agens hayati. Yuk ketahui caranya. Baca halalam selanjutnya.

 

Reporter : Soleman
BERITA TERKAIT
Edisi Terakhir Sinar Tani
Copyright @ Tabloid Sinar Tani 2018